Sepulang liburan lebaran bersama anak2 pd bulan Oktober kemarin, tidak hanya sekedar berarti pulang dari kegiatan menyenangkan atau bersantai yang bermanfaat untuk menyegarkan dan mere-charge kembali pikiran semangat juang hidup kita. Liburan kali ini tidak hanya membawa penyegaran, tetapi sekaligus penyadaran dalam diri gw sendiri.
Mendapatkan tambahan rejeki honor pemotretan dari suatu artikel media, memungkinkan kami untuk berlibur di negara Singapura, tujuh hari lamanya menginap di Meritus Mandarin Orchard Hotel, dimana hotel ini juga dikenal sebagai hotel langganannya orang-orang Indonesia apabila sedang mampir ke negara Singapura. Mampir loh, bukan berlibur krn berlibur itu biasanya mempunyai arti "kunjungan yg direncanakan untuk dilakukan di sela-sela kesibukan kerja/kegiatan yg biasanya dilakukan pd hari weekend/libur atau mengajukan permohonan cuti", sedangkan mampir bagi gw lebih mempunyai arti "berkunjung juga, tp bisa dilakukan kapan aja, waktu tak ditentukan dgn tujuan lebih luas, dan intervalnya lebih sering". Inilah yg terjadi di Singapura, khususnya di hotel tempat gw menginap itu, dengan mengutip perkataan salah satu concierge staff hotel,"di Singapura setiap hari adalah hari liburan, terutama untuk orang awak dari Indonesia yg datang kapan saja, tidak hanya pada hari libur, dan juga kadang tidak menginap, tapi selalu mengambil kamar yg dicharge penuh walopun hanya digunakan dua atau tiga jam hanya sekedar untuk melepas penat, sebelum pulang ke Indonesia pada hari yg sama dengan kedatangannya."
Well, mungkin benar sekali krn di hotel tersebut gw dan anak2 tetap merasa spt di Indonesia karena sepanjang mata dapat melihat dan sepenuh telinga dapat mendengar, ke seluruh penjuru hotel, wajah-wajah saudara setanah airku dan bahasa Indonesialah yg mendominasi hotel. Tetapi, mungkin nuansa ke-Indonesiaan tidak terlihat di diriku ini karena setibanya di receptionist hotel u/ check in, gw dsambut dengan kata sambutan dalam bahasa Mandarin, bahasa yg sama sekali asing bagi gw yahh kecuali dua kata seperti "Ni hao ma dan Wo ai ni" yg gw tau artinya he..he...Mungkin karena gw maseh blank dan tidak merespon dengan cepat, sang receptionist cantik tadi bertanya kembali dan sialnya maseh dalam bahasa China tp bukan mandarin karena aksennya berbeda, mungkin Hokian. Akan tetapi kali ini gw tidak membiarkan diri gw bengong untuk kedua kalinya, dengan cepat gw memberikan passport gw dan,"Hi am Indonesian, not Chinese sorry". Sang receptionist pun meminta maaf dan menjelaskan bahwa dia menduga gw orang Hongkong atau Taiwan. Well, do I look like Hongkong or Taiwannesse? Tentu saja tidak, gw bangga sbg orang Indonesia dan gw berpikir apakah si nona receptionist ini tidak melihat anakku Dali yg berdiri tepat disebelahku. Dali mengambil sebagian besar profil fisik ayahnya, berkulit sawo matang dan berkelopak mata yg besar dengan bentuk mata yg bulat, dilengkapi dgn bulu mata panjang letik, asli ciri khas wajah orang Indonesia.
Berdiam tujuh hari lamanya hanya ditemani oleh dua orang anak kecil yg cukup bawel dengan suara nyaring mereka, dan aktif sekali, cenderung heboh, membuat gw dan anak2 cukup dikenal akrab dgn beberapa pegawai hotel. Dan karena suasana kedekatan ini ditambah anggapan positif yg beredar bahwa orang Indonesia itu ramah tamah dan suka menolong, maka akhirnya gw membawa pulang suatu titipan dari seorang ibu tua yg bertugas sebagai housekeeping hotel, dimana ibu tersebut hampir setiap hari bertugas untuk menolong membersihkan kamar yg gw dan anak2 tempati. Ibu tersebut menitipkan handphone dan sejumlah Singapore dolar untuk saudaranya di Indonesia agar lebih mudah berkomumikasi dan uang tsb untuk membantu saudaranya yg sedang sakit. Mereka dua bersaudara pada tahun silam berasal dari RRC yg jg sering dikenal sbg bangsa Cina daratan. Karena kesusahan ekonomi, maka merekapun ber-imigrasi ke Indonesia dan Singapura. Kenapa mereka berpisah? Gw jg tidak tau sebabnya dan kebetulan gw tipe yg tidak ingin menanyakan lebih lanjut.
Yang gw tau dari cerita sang ibu, biasanya si saudara menelpon dari wartel di dekat rumahnya, dan sialnya kenapa seringkali sambungan dari Indonesia sering tidak menampilkan nomer asal pada layar handphone penerima yg berdomisili di luar negeri, sehingga sang ibu hanya bs menunggu dan mengharapkan telepon dr sodaranya. Tetapi telah cukup lama dia tidak mendapat kabar dari Jkt dan bertanya-tanya ttg kesehatan kakaknya. Telah beberapa surat dia kirimkan tp tdk kunjung berbalas.
Karena ibu itu mendengar ak akan pulang ke Jkt, untuk menghemat ongkos kirim -katanya-, akhirnya tambahan satu titipan amanat handphone dan sejumlah uang ditemani dengan secarik kertas bertuliskan nama dan alamat setempat turut menyertai kepulangan kami.
Ternyata alamat yg diberikan sang Ibu tersebut adalah di daerah sekitaran pedalaman Plumpang Priok, suatu tempat yg populasinya penuh sesak banyak terdapat gang sempit. Mampir di sana menyusuri dari gang ke gang mencari saudara sang ibu yg bernama Pak Achong. Terus terang itu pengalaman gw pertama kali terjun langsung seorang dri ke daerah seperti ini. Ngeri, was2 tentu saja. Kenapa ga bawa teman menemani? Untuk pertanyaan itu, terus terang gw ga kepikiran untuk ditemanin oleh teman, karena gw sama sekali ga menyangka tempatnya spt ini. Gw salah juga tidak mencari informasi dulu, langsung jalan aja krn gw merasa harus menyerahkan amanat titipan ini sesegera mungkin. Well dengan berbekal niat baik dan mengucap doa maka gw pun meneruskan pencarian.
Berbekal tambahan informasi dari si ibu, bahwa saudaranya memiliki warung yang berhadapan dengan tembok pembatas suatu nama sekolahan dasar dan tidak begitu jauh dari sebuah kali yang begitu bau dan keruh, kata dia.
Masih terngiang sedikit cerita terakhir dari Ibu tersebut tentang saudaranya. Si kakak menangis dan merintih kesakitan lantaran ada kanker di parunya. Biaya berobat telah menghabiskan seluruh tabungan plus dengan begitu banyak utangan. Operasi di rumah sakit di Jakarta hampir tidak mungkin lantaran terlalu mahal.
Uang yg diberikan sang ibu inilah, yg telah ditabungnya untuk beberapa lama, dipercayakan pada gw untuk menolong pengobatan saudaranya.
Kembali ke pencarian gw, perkampungan ini lebih mirip dengan gheto para gembel. Sering kali gw lihat Ibu dan anak tidur dalam gerobak. Alas tidur mereka potongan kardus dan kain rombeng. Bau kemiskinan begitu menyengat. Wajah manusia begitu pasrah dan letih.
Semenjak kerja di YLBHI, gw udh terbiasa melihat orang kecil yg ditimpa musibah menumpang bermalam di gedung YLBHI, tetapi gw blm pernah sebelumnya menginjakkan kaki sejauh ini di tempat spt ini, sedalam ini.
Di tengah bau yang begitu menyiksa gw berhenti berkali kali dan mencoba mencari warung Achong.Tapi ada puluhan warung disana dan rasanya tiap beberapa meter ada saja orang yang mencoba jualan segala yang bisa dijual. Gw tatap dengan penuh horor sungai keruh penuh sampah menjijikan itu. Gas yang keluar dari timbunan sampah pastilah gas methane yang sanggup membunuh manusia secara pelan pelan. Perkampungan ini tidak sehat dan layak huni.Di Singapore dan negara maju lainnya, tempat seperti ini pasti bakalan disegel oleh departemen kesehatan sebagai biang toksik yang berbahaya buat manusia.
Setelah tanpa sengaja melewati suatu sekolah dasar dengan sekotak kecil warung disebelahnya, gw pun menarik nafas lega krn telah menemukan yg gw cari dan jg berarti secepatnya gw akan keluar dari daerah ini dan kembali ke daerah rumah tempat gw berasal yg berjuta2 kali lebih nyaman. Gw tau sangat jahat berpikiran spt itu tp gw mencoba untuk jujur kl gw sgt merasa tidak nyaman berada di daerah ini. Gw aja ga nyaman, bagaimana dengan orang kaya dan pejabat2 itu, mungkin akan lebih dari berjuta2 kali tidak merasa betah u/ berlama2 tinggal atau malah tidak pernah ingin kesini, dan mungkin memikirkan untuk kesini saja tidak pernah terlintas di benak para orang dan pejabat kaya.
Karena warung tersebut tutup, maka gw berusaha mencari informasi dari si penjaga sekolah dsebelahnya. Dari beliau, diketahui bahwa, seperti cerita klise rakyat miskin lainnya, pak Achong udah meninggal sendirian di rumahnya sebulan yg lalu.
Gw pun termangu, blank. Yg gw tau, gw akan mem-fedexkan kembali paket tsb ke alamat ibu itu d Singapore dengan sejumlah keterangan yg gw dari Bapak penjaga sekolah. Gw akan berbohong kpd ibu itu dgn bilang bahwa saudaranya telah dikebumikan dgn baik. Sebenarnya gw ga pernah bertanya lebih lanjut ttg bagaimana jenazahnya, dimanakah makamnya, bla..bla..krn klo gw menanyakan lbh lanjut, gw akan merasa berkewajiban untuk datang mencari makamnya sedangkan saat itu gw ingin cepat2 pergi dari tempat itu.
Di tengah perjalanan pulang kembali ke rumah, perasaan gw makin campur aduk. Lega lantaran misi gw tidak sia sia. Sedih memikirkan penderitaan warga kampung. Dan benci diri gw sendiri yg tidak bisa lebih lama bertahan disana, bahkan merasa jijik atas kekumuhannya, merasa curiga, merasa tidak aman atas tatapan maupun siulan iseng yg gw dapat, dan berbagai pikiran negatif lainnya.Padahal dasarnya mereka jg manusia seperti gw. Mengapa gw biarkan pikiran negatif menguasai pikiran gw atas kemungkinan yg tdk baik? Kemana perginya pikiran positif yg selama ini slalu gw coba terapkan, yg seharusnya gw pakai di tempat itu.
Demi Tuhan, gw sungguh malu dan menyesal atas apa yg gw rasakan saat itu, karena gw belum menjadi lebih baik. Malu rasanya sebagai seseorang yg memilih bekerja di YLBHI untuk mengabdi kepada masyarakat miskin ternyata kenyataannya gw maseh sama dengan kebanyakan mereka yg mudah mengeluarkan beribu2 kata simpati , tp enggan bersinggungan apalagi berinteraksi secara langsung dan rutin, kecuali kalo sedang ada misi/kepentingan pribadi dan diliput oleh media.