Children will not remember you for the material things you provided but for the feeling that you cherished them


“Children will not remember you for the material things you provided but for the feeling that you cherished them."

Seperti kalimat yang kutulis pada 'message status-ku' di facebook bahwa kata-kata ini pernah terlontar dari mulutku. Sebelumnya, ijinkan aku menceritakan kejadian yang baru saja terjadi hari Sabtu kemaren dimana mengingatkan aku kembali pada seuntai kalimat diatas.

Dalam perjalanan pulang dari salah satu kegiatan favoritnya Vie dan anak2 yaitu 'window shopping dan ber-karaoke bersama', di perempatan lampu merah Kelapa Gading seperti biasa terlihat banyak pengemis cilik yang salah satu dari mereka mengetuk kaca mobil disampingku. Dengan bergegas Dali yang duduk di depan menemaniku mengemudi, meraih satu lembar seribu rupiah di dashboard dan meminta tolong kepadaku untuk memberikannya kepada sang pengemis cilik itu.

Aku pun menerima uang kertas tersebut dari Dali tetapi kemudian mengembalikannya ke tempat awal sang uang kertas itu berasal. Tak lama kemudian terdengarlah komentar berbentuk protes yang telah aku duga sebelumnya pasti akan dilontarkan oleh salah satu dari anak2ku ini, atau bahkan tak jarang sekaligus dari kedua-nya (maklum, selain mereka masing-masing untuk beberapa tahun ke depan ini maseh menyandung status sebagai anak kecil yang harus nurut kepada perintah mami-nya he..he...mereka juga menyandang predikat lain sebagai komentator cilik he..he...karena tak jarang pula mereka menyanggahku ketika kata-kata favorit para kaum ibu lagi terlontar dari mulutku yang mengatakan,"Dali...Zahra...Mami udah capek-capek cari uang buat bayar uang sekolah, jadi ayo jangan main mulu...sekarang belajar!...dan mereka akan membalas dengan perkataan,"Kita juga berkorban Mami...Ketika Dali zahra pengen main games malah tidak boleh dan harus nurut, nah berarti kan anak kecil juga berkorban, bukan orangtua saja!...Nah loh, kena batunya deh gw).

Anyway back to the story, tanpa terlebih dahulu mengindahkan protes dari ke-dua komentator cilik-ku ini, aku meminta Zahra untuk mengambil dua macam roti yang kebetulan tadi kami beli di Bread Talk dan lalu memberikannya kepada sang pengemis cilik tersebut.

"Kok malah dikasih roti sih Mami?" tanya Dali.
Sebelum aku menjawab, si dedek sudah komen duluan,"karena kalo dikasih uang, nanti uangnya buat main Timezone, ga beli makanan...bener kan Mami?" timpal Zahra.
"Masih mending kalo buat main Timezone dek, tapi Mami ga suka anak2 kecil seumuran kamu begitu disuruh ngemis sementara para ibu mereka malah asyik duduk2 di pojokan situ..bisa liat kan?"jawabku.
"Iya kok ibu-nya tega ya Mami....jadi mereka ga sekolah?"tanya Dali lebih lanjut.
"Mami ga tau juga deh, makanya kamu berdua tuh bersyukur maseh bisa sekolah, ga seperti mereka yang mungkin ga ada uang untuk bayar sekolah, jadi belajar yang bener ya supaya nanti bisa dapat kerjaan yang baik kalo sudah besar,"jawabku mengambil kesempatan dalam kesempitan untuk 'ceramah' sedikit he..he..biasa-lah insting alami para ibu :)

"Mereka kan orang miskin Mami makanya mereka ga bisa bayar uang sekolah,"jawab Dali yang terus terang kalimat tersebut cukup membuatku tersentak kaget.
"Terus kalo kita orang apa Dali?" tanyaku lebih lanjut.
"Kalo kita kan orang kaya Mami,"jawab Dali singkat.
"Alasan-nya apa kamu bisa bilang mereka orang miskin dan kita kaya, Dali?"tanyaku lebih lanjut.
"Kata Papa, karena mereka tidak punya rumah sehingga mereka harus tinggal di bawah jalan tol Mami dan mereka juga tidak punya mobil seperti kita,"jawab Dali dengan lugu.
"Kata siapa, Dali?"tanyaku untuk mempertegas 'kejutan' yang baru ku-dengar.
"Kata Papa, Mami," Dali menjawab ulang.

"Dengar Dali, kalau begitu berarti Mami, Dali dan Zahra sama miskin-nya dengan mereka," tegasku.
"Loh kok gitu Mami, kita kan ada rumah dan mobil,"timpal Dali.
"Karena rumah yang kita tempati sekarang dan mobil ini bukan punya kita, tapi punya Eyang," tegasku lebih lanjut.
"Tapi kan Eyang itu nenek-nya Dali dan mama-nya Mami, berarti ya punya kita juga dong,"jawab Dali tidak mau kalah.
"Memangnya cucu Eyang cuman kamu ma Zahra aja...memangnya anak2 Eyang cuman Mami...lagipula itu semua punya Eyang....denger ya Dali Zahra...itu punya Eyang, bukan punya kita. Yang jadi kepunyaan kita itu semua yang Mami beli sendiri pake gaji Mami, ngerti?"keluar seh galaknya Alvi.

"Jadi kita juga miskin Mami?....Jadi Papa boong ya?" kali ini giliran Zahra yang bertanya.
"Mami tidak bilang kalo Papa kamu salah dan juga Mami tidak bilang Papa kamu boong. Mami cuma bilang kalo pengertian Dali tentang orang miskin seperti yang dibilang pada Papa, nah kalo begitu berarti kita juga termasuk orang miskin. Ada pertanyaan lagi?"
Kali ini tak lagi kudengar anak2ku berkomentar lebih lanjut. Sekilas kulihat Dali sedang diam, mungkin lagi berpikir berusaha mencerna kata-kataku tadi. Sedangkan dari kaca spion, kulihat Zahra maseh asyik saja membaca komik Power Puff Girls-nya.
Aku pun membiarkan kesunyian menghampiri kami, sekaligus memberikan waktu untuk dipakai anak2 berpikir.

kejadian ini lah yang mau tidak mau membawaku kembali ke peristiwa beberapa tahun silam, khususnya kembali ke bagian dimana ketika (mantan) suami melontarkan pertanyaan sekaligus tanggapannya ketika diriku meminta cerai dari dirinya.
"Kamu yakin Vie mau minta cerai? Kamu tau ga kalo kamu itu udah 28 tahun dan tidak bekerja? Mengharapkan calon suami yang kaya? Mana ada yang mau dengan seorang janda 28 tahun, tidak bekerja, ditambah 2 anak pula?"
Seingatku waktu itu aku hanya menanggapi dengan berkata,"Rejeki ditangan Tuhan, dan saat ini aku tidak berencana apalagi berpikiran untuk mencari tiang gantungan pada laki-laki kaya lainnya. Yang penting niat aku sudah bulat untuk bercerai dan anak2 dalam pengasuhanku."
"Halah, anak2 juga nanti bakal nyari aku kok kalo mereka ngeliat aku bisa nawarin hidup yang lebih enak daripada yang kamu bisa tawarkan. Mana ada seh anak2 yang nolak untuk diberi barang2 mewah walopun sehari2 aku ga bersama mereka,"kata suamiku dengan yakin.
"Yah kita liat aja nanti, anak2 lebih milih perhatian dan kasih sayang atau materi yang kamu tawarkan,"jawabku pendek sambil berlalu.

Aku sadar kalo tidak bisa memberikan materi yang berlebihan untuk ke-dua anak2ku. Dan aku juga tidak berniat ataupun bertujuan untuk mencari seseorang yang kaya raya untuk menjadi tiang gantungan. Modalku untuk anak2 adalah kasih sayang dan perhatian yang optimal yang dapat aku berikan. Kalaupun nanti anak2 lebih memilih materi seperti yang ditawarkan oleh Papa-nya, walopun sedih dan hancur pastinya tapi aku ikhlas kok. Bagaimanapun, mantan suami adalah Papa-nya anak2 yang juga mempunyai hak yang sama untuk mengasuh dan mendidik mereka dan juga karena anak2 adalah individu titipan Tuhan yang mempunyai kebebasan untuk menentukan pilihan termasuk jalan hidup mereka masing-masing.