Anak-anak Broken Home (Part I)


Suatu ketika Zahra dan Dali, kedua2nya, dateng mengetuk pintu kamarku. Aku membuka pintu dan mereka pun langsung duduk mengambil posisi di ujung tempat tidur sambil berpandang-pandangan satu dengan lainnya. Dari gelagat dan gerak gerik kedua anakku ini, aku tau pasti ada yang hendak ditanyakan. Namun, aku memutuskan untuk tidak berkata apa-apa selain meneruskan membaca buku yang berada di tangan. Aku memutuskan bertindak seperti itu untuk membiasakan kedua anakku ini untuk berani bertanya.

Setelah sekian lama waktu berlalu, terdengar suara anak bungsuku - Zahra. Tak heran melihatnya, sebelumnya aku telah menduga bahwa Zahra-lah yang akan memulai melontarkan pertanyaan karena Dali pasti meminta Zahra menjadi juru bicara.
"Mami, apa sih anak-anak broken home itu?"
"Dek Zahra kan sudah bisa sedikit-sedikit bisa berbahasa Inggris. Coba artikan sendiri dulu..broken artinya apa...dan home artinya apa?" jawabku.
Kali ini Dali yang menyahut,"Broken artinya patah, dan home artinya rumah....rumah patah Mami?"
Zahra berkomenter,"Memangnya rumah ada yang patah ya..wah hebat banget ada yang bisa matahin rumah...mantabbb."
Aku tersenyum kecil mendengar komentar Zahra, anakku ini memang selalu punya komentar2 yang bisa membuat orang tersenyum.
"Yang tinggal di rumah sapa Dali?" tanyaku pada Dali.
"Ada mami, Dali, dek Zahra, Mbah, Kak Iroh, Om big?" jawab Dali.
"Nah...mami, Dali, dek Zahra dan sebagainya itu disebut apa?"tanyaku lebih lanjut.
"Ibu dan anak,"jawab Zahra.
"Ibu dan anak itu disebut apa?"pancingku lebih lanjut.
"Keluarga, Mami," jawab Dali.
"Iya, tapi keluarga kita kan ga ada papanya," komentar Zahra.
"Nah itu lah yang disebut dengan broken home. Suatu keluarga dimana suami-istri tidak hidup bersama-sama lagi dalam satu rumah atau disebut juga..
"..bercerai mami," sahut Zahra memotong kalimatku.
"Yup bercerai, sehingga anak-anaknya tidak lagi mempunyai sepasang orang tua yang lengkap tinggal dalam satu rumah. Yang biasanya ada ayah, ibu dan anak...nah kali ini bisa ibu dan anak saja, atau ayah dan anak saja," penjelasanku panjang lebar.
"Oh pantesan teman-teman disekolah bilang kalo Dali anak-anak broken home ya Mami?" tanya Dali.
"Kalo anak-anak broken home diartikan seperti yang mami bilang tadi berarti benar karena papa tidak tinggal lagi bersama kita, tapi bukan berarti Dali dan Zahra tidak punya papa. Dali dan Zahra punya papa, tapi tidak tinggal bersama kita di Jakarta,"penjelasanku.
"Tapi mami, katanya teman-teman bang Dali kalo anak broken home itu nakal ya Mami?" tanya Zahra.
"Sekarang mami tanya, dek Zahra disekolah pernah dibilang anak nakal ga? Dali pernah ga?" tanyaku.
"Ga mami," jawab mereka hampir berbarengan.
"Dedek kan ranking satu mami...kalo nakal mana bisa dedek dapat ranking," timpal Zahra lebih lanjut.
"Nah terus, ada ga anak yang menurut Dali dan dek Zahra bisa dibilang nakal padahal papa dan mamanya tidak bercerai?"
"Ada mami...itu tuh si x nakal banget deh," jawab Zahra.
"Nah sekarang, artinya apa? coba Dali yang menjawab," tanyaku pada Dali.
"Artinya belum tentu anak-anak yang orangtuanya udah bercerai pasti nakal ya mami? teman dedek, si x, nakal banget padahal orang tuanya tidak bercerai."
"yup betul, jadi biarin aja teman-teman Dali dan Zahra bilang kalo kamu berdua tuh anak-anak broken home. Yang penting, buktikan pada temen-temen Dali dan Zahra kalo anak-anak mami ini tidak nakal dan terus dapat nilai bagus di sekolah. Setuju kan?"
"Mantabbb mami," jawab Zahra (entah mengapa Zahra lagi hobi bilang kata MANTAB).
Sedangkan Dali hanya menjawab dengan tersenyum.

Setelah mereka berdua keluar dari kamarku, aku pun kemudian memikirkan lebih lanjut pertanyaan anak-anakku tadi. Aku sama sekali tidak menyangka istilah 'broken home' masih dipakai jaman sekarang ini, apalagi kata-kata itu keluar dari mulut anak kecil seumuran Dali, 8 tahun. Entah darimana mereka mendengar istilah tersebut. Tapi harusnya aku tidak usah terlalu terkejut, informasi yang hampir tiada berbatas, cepat dan mudah untuk mengaksesnya, berakibat membuat anak-anak jaman sekarang ini terlihat lebih dewasa daripada umur sebenarnya, baik dari fisik maupun pemikiran. Bila informasi itu berdampak baik bagi anak-anak kita, tentunya tidak menjadi masalah dan itupun tetap harus ada peranan orang tua dalam menyaring dan me-reform informasi tersebut sesuai dengan umur anak-anak kita sehingga layak dan aman untuk dikonsumsi mereka.

Bagaimana pandanganku tentang istilah 'anak-anak broken home ini'?...(Part II)