Perceraian Pasti Menimbulkan Parut Pada Anak...Minimalkanlah!


Seorang teman yg telah memutuskan untuk bercerai curhat anaknya sakit panas tinggi dan rewel memanggil-manggil ayahnya, dan juga temen gw itu mengeluh ttg ketidakpedulian mantan pasangan yg tak kunjung datang menengok buah hati mereka.Terus keliatan sekali kalo temen gw itu sangat kalut dan ya tentu gw bs mengerti krn mereka blm lama bercerai, perasaan blm benar2 sembuh dan ikhlas dari sakit hati, nah sekarang anak yg sakit seakan menambah panjang daftar problem yg (mungkin) disebut sebagai dampak/akibat perceraian, yg kali ini dalam kasus temen gw, perceraian tersebut meninggalkan dampak/bekas/parut yg tdk disangka sebelumnya, bagi anaknya yg baru berusia kurang lebih satu tahun.

Menurut dan berdasarkan pengalaman gw menjadi seorang single mom selama hampir 5 tahun di Maret 2009 nanti, bahwa tidak dapat dielakkan perceraian menimbulkan traumatis pada anak dan hal itu tidak atau akan terjadi menjadi lebih dalam, jika - hanya jika -, kita dan ex tidak membiarkanterjadinya trauma yg dalam pada anak. Atau dengan kata lain adalah hanya pikiran kita dan ex yang dapat mengontrol, memberikan ijin atau tidak terjadinya dampak traumatis pada anak2 yg mendalam".

Anak2 adalah human being yang masih dibawah umur, yang maseh belom bisa mengerti sepenuhnya dan juga maseh tergantung sepenuhnya pada pikiran, keputusan dan tindakan kita, terlepas dari apakah tindakan dan pikiran kita itu akan berdampak baik ataupun buruk bagi anak2.

Dalam hal ini, gw memberikan komentar yang walopun mungkin agak2 terdengar ketus atau bagaimana, tapi percaya lah kalo gw tidak bermaksud untuk memberikan pandangan negatif atau apapun tapi hanya frankly saying my point of view on problem teman gw itu.

Sekiranya, sebelum memutuskan untuk bercerai...kita pasti sudah mempertimbangkan dengan baik keputusan bercerai dari semua sisi, plus dan minus, pribadi, pasangan, anak2 dan keluarga. Dan tentunya salah satunya kita harus sudah mempunyai gambaran kesiapan mental anak2 jika harus menghadapi kenyataan perceraian orang tuanya, misalnya dilihat dari kedekatan anak2 dengan kita, dengan ex, ataupun secara2 pelan2 berusaha menyiapkan mental anak2 pra penceraian dengan memberikan pemahaman sederhana yang mudah dan bisa diserap..gimana caranya?....gw kira itu berbeda2 antar tiap orang tua, karena hanya orang tua lah yang mengerti sifat tiap anak2nya.

Usahakan mencapai komunikasi/kesepakatan dengan ex bahwa jikapun terjadi perceraian, Insya Allah anak2 tidak akan menjadi korban dalam hal ini, karena kita semua tau bahwa "tidak pernah ada yang namanya bekas anak, maupun bekas orangtua".

Terus gimana dong Vie kalo gw udah melakukan semua yg lo lakukan diatas ?

Terus gw tanya lagi ma temen gw itu, "lo yakin udh melakukan dengan benar? lo yakin udh memikirkan itu semua dengan kepala dingin?" Karena gw yakin banget kl sebagian besar orang mengambil keputusan bercerai karena dorongan impulsif semata yg merasa sakit hati, ingin bebas dari derita perkawinan, ego yg super duper tinggi, yang intinya semua pikiran itu 90% hanya berkutat di sekitar "penderitaan" yg kita rasakan dan bagaimana mengatasinya, blm lg kl kita mendapat "kipasan panas" dari kompor2 di sekeliling kita. Sehingga bisa dibilang saat itu kita menjadi seorang manusia dewasa tapi autis, hanya memikirkan apa yg diri kita mau dan apa yg kita ingin.

Terus temen gw bilang gini, "Vie, gw kan ngikutin saran lo yg bilang kl kita sedih dan tidak bahagia dlm perkawinan, maka anakpun akan dapat merasakan. Nah, seperti yg lo bilang juga Vie..lebih baik gw cerai tp anak gw tidak akan mendengar pertengkaran lagi atopun melihat gw menangis. Dan jg gw liat Zahra fine2 aja."

Waduh, gw jd ngerasa bertanggung jawab neh. Tapi, gw bilang ma temen gw itu mungkin cara pikir yg gw pakai waktu memutuskan untuk bercerai belum pasti akan menghasilkan dampak yg sama bagi setiap orang. Ga bs dibilang berdampak absolut, karena sebagian besar variabel-variabel yg berperan sangat variatif dan relatif, antara lain kesiapan mental atau rasio antara logika dan perasaan seseorang berbeda satu sama lain. Mungkin bs dipake Common atau General Assumption/Practise yg terjadi dlm masyarakat sebagai acuan dan perbandingan, tetapi untuk langkah penanganan dan penyelesaian akan berbeda antara satu individu dengan individu lainnya.

Perlakuan yg diberikan oleh orang tua dalam menyiapkan anak2 untuk menghadapi perceraian juga akan berbeda krn tiap anak adalah unik yg hanya di mengerti oleh orang tua anak tersebut. Akan tetapi, gw yakin selama kita benar2 bs berusaha untuk bersikap dan berfikir seobjektif dan sematang mungkin, jauh dari rasa ingin balas dendam dan rasa2 negatif lainnya,kita dan anak2 pun akan melalui masa pra dan pasca perceraian dgn lbh tenang, tanpa ada banyak masalah major yg timbul.

Tapi ya sudahlah, sekrang kita hadapi saja kenyataan kalo anak temen gw itu menangis sampe sakit karena inget dan kangen ayahnya.

Kalo dari hal ini, gw bisa menyimpulkan bahwa hub sang anak sangat dekat dengan ayahnya, dan setidaknya sang ayah pun mempunyai kontribusi peran yang cukup besar di mata, hati dan pikiran sang anak. Karena anak2 sangat murni dalam bersikap, tidak bisa berpura2. Apalagi anak yg maseh berusia satu tahun.

Dan kalo sekrang setelah terjadi perpisahan, ternyata sang ayah tidak mau menemui anaknya, patut dipertanyakan atau mungkin sekiranya temen gw itu dapat me-rewind kembali apa seh yang kira2 bisa menyebabkan sang ayah kok tega bisa bersikap spt itu yang menurut dugaan gw neh, sewaktu kel masih utuh, sang ayah most of the time selalu meluangkan waktu untuk anak2nya, yang gw juga yakin sehingga terbentuk bonding yang sangat dekat antara sang ayah dan anak dimana logikanya sang ayah seharusnya tidak akan tega untuk berpaling atau mengacuhkan sang anak.

Terus gw minta tolong kepada temen gw itu untuk menurunkan ego dan menyisihkan rasa sakit hati,apabila kebahagiaan dan kesembuhan anak adalah diatas segalanya, berbesar hati
untuk mengalah (demi kemenangan loh ..untuk kebahagiaan anak), mengontak sang ex secara pribadi dengan bersahabat meminta kesediaan sang ayah untuk mengunjungi sang anak. Who knows hatinya akan tergerak kan...

Tetapi apabila sekiranya segala cara sudah dicoba dan hal yang diharapkan tidak terjadi, yah tidak ada cara lain lagi temen gw harus bisa menunjukkan ke anak untuk menumbuhkan sikap survival mereka (walopun mereka maseh anak2). Tunjukkan bahwa masalah yang dihadapi kita sekrang ini hanyalah segelintir kecil masalah dari sederet besar masalah lain yang sudah dalam antrian. Walopun terdengar keras dan mungkin kejam, tapi sedari kecil sedini mungkin kita sebagai orang tua harus bisa
menumbuhkan rasa seorang survivor di hati anak2 kita.

Tunjukkan ke anak2 kalo kadang kala kita tidak bisa selalu mendapatkan apa yang kita inginkan atau sudah direncanakan. Susah banget awalnya, tapi lama
kelamaan dan konsisten,kita dan anak2 akan bisa passing through all kind of problems. Dimana tentunya kita harus memberikan contoh kepada anak dengan menjadi seorang ibu yg lbh baik dan jg bijaksana dengan tidak menjelek2an sang ayah d depan anak2. Sehingga, pasca perceraian mungkin saja hubungan yg lbh baik dapat terjadi antara kita,pasangan dan anak.