Tolong Jangan Mencari Keuntungan Dari Kami, Perempuan Yang Bercerai!



Banyak orang yang sebenarnya masih blurrr mengenai sistem hukum Indonesia seperti misalnya yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan perkawinan dan perceraian, akan tetapi kebanyakan tidak tahu kemana dan pada siapa harus bertanya tentang hal ini. Bagi kaum berduit, tentunya tinggal datang ke kantor advokat komersial setempat dan beres deh, tapi ya tentu saja informasi itu tidak gratis alias si pencari informasi akan dikenakan biaya konsultasi yang kisarannya berbanding lurus dengan tingkat popularitas dan ketenaran si pemberi informasi.

Bagi pihak yang berduit minimum cukup dan dibawah taraf kecukupan sampai batas titik nol skala kecukupan, tentunya masalah biaya ini merupakan masalah dan kendala yang cukup besar. Apalagi bagi pihak yang misalnya sedang mengalami masalah yang berkaitan dengan perceraian, wajar aja kalau kemudian terdengar keluhan dari mereka yang ibaratnya 'sudah jatuh tertimpa tangga pula', sudah ditimpa musibah menghadapi ancaman perceraian tapi bukannya ditolong malah ditambahkan macam-macam masalah dan musibah yang lain.

Kenapa ga meminta bantuan ke LBH setempat aja yang dikenal tidak memungut biaya untuk konsultasi maupun pendampingan? Hm... bisa seh..tapi kendalanya sumber daya LBH sangat terbatas. Jadi walaupun LBH akan berusaha untuk dapat selalu mengoptimalkan segala daya upaya yang ada untuk semaksimal mungkin membantu pihak yang membutuhkan bantuan, seringkali jumlah yang meinta bantuan lebih banyak daripada jumlah yang dapat dibantu oleh LBH.
Yah, memang tidak bisa dipungkiri idealisme tidak bisa berdiri sendiri, juga dibutuhkan dana untuk membantu orang lain. Dan too bad, Indonesia sebagai negara hukum malah tidak memberikan bantuan dana untuk memberikan pelayanan hukum gratis bagi warga negaranya yang membutuhkan.

Tetapi, bukannya berarti untuk pihak yang bisa membayar jasa advokat juga tidak lepas dari masalah. Misalnya kasus yang menimpa teman gw, sebut saja Miss X. Si Miss X yang berasal dari keluarga berduit yang tentunya dapat dengan mudah menyewa jasa advokat yang terkenal sekalipun, kenyataan yang terjadi adalah Miss X merasa dirugikan karena sudah merasa membayar mahal akan tetapi hasil yang didapatkan tidak seperti yang diharapkan. Setelah mencari keterangan dengan susah payah dan diam-diam, ternyata si advokat Miss X 'kong-kalikong' dengan pihak mantan suami-nya. Gw tidak habis pikir, si advokat kok mau-maunya mempertaruhkan reputasi dan mengkhianati sumpah profesi-nya ber-'kong-kalikong' dengan pihak lawan, tetapi rasanya praktek seperti itu bukan hanya sekali ini saja terjadi di Indonesia.

Terus contoh kasus berikutnya yang menimpa temen gw yang lain, yang lagi kebingungan mencari informasi mengenai prosedur pembuatan akte kelahiran untuk anak-nya yang lahir di luar pernikahan resmi. Karena kurangnya sosialisasi informasi dasar hukum ke masyarakat, temen gw yang memakai jasa advokat komersial itu dikenai biaya pembuatan akta kelahiran 20 kali lipat dari biaya resmi. Hm...apakah ini berarti mental beberapa adovakat juga mempunyai mental 'calo' seperti yang juga dilakukan oleh sebagian polisi dalam urus-mengurus pembuatan Surat Ijin Mengemudi? Masak seh, sudah susah payah kuliah dengan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit (untuk yang kuliah di universitas swasta) dan yang disubsidi oleh negara (untuk yang kuliah di universitas negeri) maseh aja cita-citanya menjadi 'calo'?

Atau contoh yang menimpa diri gw sendiri. Pengadilan agama setempat memotong sejumlah besar uang penghiburan dari mantan suami tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Dengan santai-nya panitera pengadilan setempat berkomentar,"Kita potong sebesar Rp xxxx ya Bu, sebagai tanda terima kasih Ibu kepada para Hakim yang telah menolong penyelesaian perceraian Ibu."
Dan ketika gw menanyakan kenapa tidak memberitahukan gw terlebih dahulu, komentar yang gw dapat hanyalah," Ahh, Ibu seperti tidak tahu saja, ini sudah biasa kok Bu." dan panitera itu pun menutup telepon-nya.
Gw hanya terdiam dan berpikir,"apa yang dimaksud dengan 'biasa' ya?", sewaktu gw mencoba untuk menghubungi nomer panitera tersebut, selalu nada sibuk yang terdengar ataupun panitera itu yang selalu dikabarkan tidak ada di tempat.
Dan kemudian sewaktu gw mengeluhkan hal ini ke advokat yang gw minta bantuannya, advokat itu malah menguatkan pernyataan panitera pengadilan agama tadi yang intinya kalo hal itu memang sudah menjadi kebiasaan dan tidak ada gunanya untuk ditindak lebih lanjut. Gw yang sudah patah arang, malah semakin patah arang. Kok tega-teganya pengadilan agama yang seharusnya menguasai hukum agama malah mengambil uang secara paksa yang menjadi hak seorang janda?

Satu lagi contoh kasus ekstrim yang dialami oleh saudara sepupu jauh gw. Uang idah yang seharusnya dia terima secara tunai, malah diterima secara angsuran untuk beberapa bulan, yang anehnya lagi angsuran uang idah ini dilakukan oleh pihak pengadilan agama, bukan langsung dilakukan oleh pihak mantan suami. Ketika ditanyakan hal ini kepada pihak mantan suami-nya, jawaban yang didapat adalah pengadilan agama yang meinta agar uang idah dibayarkan ke pihak mereka dan nantinya mereka yang akan memberikan kepada sepupu gw itu.



Beberapa contoh kasus diatas (dan gw yakin maseh banyak kasus-kasus lain yang menimpa pihak wanita pada umumnya) memperlihatkan dan membuktikan bahwa kita maseh BUTA HUKUM atau sengaja di-BUTA HUKUM-kan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Kita tidak mempunyai pengetahuan yang memadai tentang hukum, bahkan fasilitas ataupun prosedur hukum pun tidak jelas, bahkan kita juga tidak dapat percaya 100% apakah pengacara yang kita gunakan jasanya akan membela hak kepentingan kita secara benar atau malah 'bermain menikam' kita dari belakang. Keadaan ini lah yang menyuburkan tindakan-tindakan 'premanisme dan korupsi' ataupun 'penindasan hak asasi manusia' dapat terjadi.

Banyaknya pengalaman mengalami nasib ‘ketidak-adilan’ di pengadilan sewaktu proses perceraian maupun ‘ketidak-adilan’ yang maseh berlanjut sampai setelah keputusan bercerai diketuk palu oleh hakim membuat para perempuan yang akan bercerai menjadi apatis terhadap pengadilan di Indonesia. Harapan mendapatkan pengadilan yang adil sudah menjadi arang. Sebagian besar komentar mereka, “semua hasil keputusan pengadilan, biarpun hitam di atas putih belum tentu punya kekuatan hukum”; atau,”hakimnya sendiri bilang ke saya lebih baik terima nasib aja karena hukum di indonesia gak bakal memenangkan si wanita”; atau,”sama juga boong karena semua tergantung niat baik sang mantan suami”; atau,” Mending duit diskusi buat beli susu anak”; atau,”ah perkara gw udah lewat…telat neh ngadainnya…udah basi”; atau,” untuk menuntut hak anak, saya sudah lelah sekali”; atau,” secara perceraian yang menimpa kita bukan kasus yang pertama kali terjadi gw yakin dari dulu juga udah banyak pihak yang mengusahakan hak2 perempuan dalam kasus perceraian tapi yah nyatanya setiap kasus perceraian mo dibantu or ga dibantu lawyer tetep ajah menempatkan kaum perempuan di titik lemah”: atau,” ujung-ujungnya juga duit yang bikin hampir kebanyakan dari kita give up.”

Itu realita, dan jujur, kadang gw juga lelah juga kadang pesimis sepertinya kondisi keadilan di Indonesia tidak akan pernah berubah, tidak akan bisa, setidaknya, mendekati kondisi mendekati ideal. Tapi lantas gw berpikir, perjuangan untuk membawa suatu perubahan ke arah lebih baik tentu jalannya tidak akan pernah mudah. Nyawa saja menjadi hal yang dipertaruhkan dalam medan perjuangan. Itulah yang kita ketahui terjadi pada para pahlawan kita masa pra kemerdekaan dulu , dan juga yang dialami oleh almarhum Munir. Tetapi seperti kata pepatah yang mengatakan bahwa “sesuatu yang berharga layak diperjuangkan” atau “setiap perubahan yang diinginkan pasti menuntut adanya korban” atau seperti yang digambarkan oleh film-film di layar lebar dan ataupun seperti yang dituliskan pada buku cerita kalo yang namanya jagoan itu pasti kalah dulu, menderita dulu sebelum menang.

Jadi sebenarnya wajar kalo jalan kita seperti ini. Sepertinya susah, dead-end. Hidup mencakup banyak hal yang tidak kita inginkan. Hidup yang menyakitkan dan menimbulkan kekecewaan. Banyak diantaranya diluar kendali kita, dan tidak dapat kita ubah. Kadang, kita tidak dapat kembali untuk mengulang hubungan dengan cara yang lebih baik.Tapi kita dapat memutuskan untuk terus maju memulai hidup baru dengan cara baru yang lebih baik. Karena kita akan lebih mampu untuk memandang kembali masa-masa sulit yang menyakitkan itu dengan melihatnya sebagai perbaikan hidup, bukan sebagai trauma yang kadang kala dibawah alam sadar tidak ingin kita lepaskan dan lupakan.
Selama maseh ada niat, asa dan rasa rindu akan adanya suatu perubahan, jangan pernah lelah untuk keep on fighting.

Gw percaya bahwa apabila diri kita bersedia untuk tidak memikirkan diri sendiri, melainkan juga memikirkan orang lain dan lingkungannya berarti berbuat sesuatu yang berarti juga menunjukkan tanggung jawabnya terhadap kehidupan yang telah dianugerahkan oleh Tuhan. Beralih dari posisi statis seperti menyalahkan kejadian dan sistem menjadi mengetahui masalah dan keterlibatan kita dalam kejadian perceraian tersebut, memungkinkan kita untuk dapat lebih menerima perceraian tersebut dan bersedia membantu orang lain dengan mengadakan suatu perubahan. Kalaupun perubahan itu tidak terjadi pada masa dan diri kita, tapi setidaknya tidak akan ada lagi seorang wanita lainnya yang mendapatkan perlakuan yang tidak adil.