Special Recipe To Have Happy Marriage
Lagi lagi diriku nulis tentang hal2 yang berbau cinta lagi he..he..kesannya ga intelek banget ya...bisnya mo nulis tentang politik, aku takut bukannya membuat keadaan politik negara kita menjadi lebih baik, malah makin membuat politik negara menjadi lebih amburadul lagi...mo nulis tentang ekonomi, hm...terus terang males ah...soalnya menurut diriku ini keadaan ekonomi negara kita ga bisa diukur atau di analisa dengan berbagai teori ekonomi yang ada, lebih bersifat unpredictable and banyak yang ngasal alias jadi follower aja.......
So, biar deh ...mo dibilang tulisannya ga intelek lah..pokoknya gw cuman sekedar melampiaskan apa yang gw pikir dan rasakan dalam sekedar bentuk tulisan sederhana..
Kali ini diriku ingin lebih dalam menggali tentang konsep "happiness/kebahagiaan", khususnya dalam suatu hubungan, termasuk dalam perkawinan.
Salah satu arti kebahagiaan bagiku adalah ketika melihat orang yang ku cintai
bahagia. Simple banget ya kelihatannya, padahal sangat tidak gampang untuk memperoleh kebahagiaan jenis ini. Apalagi bagi manusia yang mempunyai sifat egois dimana semua kebahagiaan diukur dari kebahagiaan dirinya sendiri.
Mereka tidak pernah menyadari bahwa manusia yang demikian ini adalah tipikal 'pemburu kebahagiaan", yang justru sulit atau bahkan tidak pernah menemukan, mengerti dan merasakan bahagia.
Walopun pernah gagal dalam perkawinan tetapi aku masih meyakini bahwa berumah tangga adalah sebuah cara untuk memperoleh kebahagiaan apabila kita dan pasangan bisa saling membahagiakan tanpa pamrih.
Wah gampang banget dunk ya secara rata-rata niat kita untuk menikah kan karena didasari cinta. Iya sih, tapi dasar cintanya itu gimana neh?? Atas dasar cinta kita ke pasangan, dasar cinta pasangan ke kita, atau dasar cinta dengan kadar yang sama diantara kita dan pasangan?? Apakah ada rasa cinta yang memiliki kadar yang sama? Dan apakah sudah yakin bahwa cinta itu adalah cinta yang murni, bukan cinta yang lebih didasarkan rasa antusias untuk mencoba 'petualangan' baru yang disebut dengan perkawinan?? Hm...ternyata kompleks juga ya...tapi sih enggak se-kompleks itu juga sih kalo kita memang benar-benar bisa memahami dan menjalankan konsep perkawinan berbekal atau yang berdasarkan cinta tulus ini. Bukan malah menuju ke perkawinan dengan berbekal memburu cinta. Lho, memang apa bedanya?
Berbekal cinta, berarti kita mencintai pasangan kita. Ingin memberikan
sesuatu kepada pasangan agar ia merasa bahagia. Sedangkan berburu cinta,
berarti kita menginginkan untuk dicintai. Menginginkan sesuatu dari
pasangan kita, sehingga kita merasa bahagia.
Menurut kamu, manakah yang lebih baik? Mengejar cinta atau memberikan
cinta? Mengejar kebahagiaan ataukah memberikan kebahagiaan? Mengejar
kepuasan ataukah justru memberikan kepuasan? Mana yang bakal membahagiakan,
yang pertama ataukah yang ke dua? Ternyata, yang ke dua. Mengejar cinta
hanya akan mendorong kita untuk berburu sesuatu yang semu belaka. Yang akan
tidak pernah kita raih. Karena, keinginan adalah sesuatu yang tidak pernah
ada habisnya. Apalagi keserakahan.
Hari ini kita merasa memperoleh cinta dari pasangan, maka berikutnya
kita mungkin akan merasa tidak puas karena ingin memperoleh cinta yang lebih dari pasangan.
Ini hampir tak ada bedanya dengan ingin mengejar kesenangan dengan cara memiliki mobil
atau rumah. Ketika kita masih miskin, kita mengira akan senang memiliki
mobil berharga puluhan juta rupiah. Kita berusaha mengejarnya. Lantas
memperolehnya. Dan kita memang senang. Tapi, tak berapa lama kemudian, kita
menginginkan untuk memiliki mobil yang berharga ratusan juta rupiah. Mobil
yang telah kita miliki itu tidak lagi menyenangkan, atau apalagi
membahagiakan.
Benak kita terus menerus terisi oleh bayangan betapa senangnya memiliki
mobil berharga ratusan juta rupiah. Jika kemudian kita bisa memenuhi
keinginan itu, kita pun merasa senang. Tetapi, ternyata itu tidak lama.
Benak kita bakal segera terisi oleh bayangan-bayangan, betapa senangnya
memiliki mobil yang berharga miliaran rupiah. Begitulah seterusnya.
Kesenangan dan kebahagiaan itu bukan kita peroleh dengan cara mengejarnya,
melainkan dengan cara merasakan dan mensyukuri apa yang sudah kita miliki.
Kita tak perlu mengejar kebahagiaan, karena kita sudah menggenggamnya. Yang
perlu kita lakukan sebenarnya adalah memberikan perhatian kepada apa yang
sudah kita miliki. Bukan melihat dan mengejar sesuatu yang belum kita
punyai. Semakin kita memberikan perhatian kepada apa yang telah kita
miliki, maka semakin terasa nikmatnya memiliki. Jadi, kuncinya bukan
mengejar, melainkan memberi, nah pas banget kan dengan common term of unconditional love.
Demikian pula dalam berumah tangga. Jika kita ingin memperoleh kebahagiaan,
caranya bukan dengan mengejar kebahagiaan itu. Melainkan dengan memberikan
kebahagiaan kepada pasangan kita. Bukan mengejar cinta, melainkan
memberikan cinta. Bukan mengejar kepuasan, melainkan memberikan kepuasan.
Maka kita bakal memperoleh kebahagiaan itu dari dua arah. Yang pertama,
kita akan memperolehnya dari pasangan dan karena merasa dibahagiakan, ia
akan membalas memberikan kebahagiaan (mudah2an...).
Yang ke dua, kebahagiaan itu bakal muncul dari dalam diri kita sendiri.
Ketika kita berhasil memberikan kepuasan kepada pasangan kita, maka kita
bakal merasa puas. Ketika berhasil memberikan kesenangan kepada partner
kita, maka kita pun merasa senang. Dan ketika kita berhasil memberikan
kebahagiaan kepada istri atau suami kita, maka kita pun merasa bahagia.
Ini, nikmatnya bukan main. Jumlah dan kualitasnya terserah kita. Ingin
lebih bahagia, maka lebih bahagiakanlah pasangan. Ingin lebih senang, maka
senangkanlah pasangan kita lebih banyak lagi. Dan, kita ingin lebih puas?
Maka puaskanlah pasangan dengan kepuasan yang lebih banyak. Terserah
kamu meminta kesenangan, kepuasan, atau
pun kebahagiaan sebesar apa. Karena kuncinya ada di tangan kamu sendiri.
Semakin banyak memberi semakin nikmat rasanya.
Kamu yang terbiasa egois dan mengukur kebahagiaan dari kesenangan pribadi,
akan perlu waktu untuk menyelami dan merenungkan kalimat-kalimat di atas.
Contoh yang lebih konkret adalah perkawinan dengan cinta yang bertepuk
sebelah tangan. Perkawinan semacam ini sungguh membuat menderita pihak yang
tidak mencintai. Padahal ia dicintai. Segala kebutuhannya dipenuhi oleh
pasangannya. Katakanlah ia pihak wanita. Segala kebutuhan sang wanita
selalu dipenuhi oleh suaminya. Rumah ada. Mobil tersedia. Pakaian,
perhiasan, dan segala kebutuhan semuanya tercukupi. Tetapi ia tidak pernah
merasa bahagia. Kenapa? Karena tidak ada cinta di hatinya.
Sebaliknya, sang suami merasa bahagia, karena ia mencintai istrinya. Ia
merasa senang dan puas ketika bisa membelikan rumah. Ia juga merasa senang
dan puas ketika bisa membelikan mobil. Dan ia senang serta puas ketika bisa
memenuhi segala kebutuhan istri yang dicintainya itu. Semakin cinta ia, dan
semakin banyak ia memberikan kepada istrinya, maka semakin bahagialah sang
suami. Kalau ia benar-benar cinta kepada istrinya, maka ukuran
kebahagiaannya berada pada kebahagiaan si istri. Jika istrinya bahagia, ia
pun merasa bahagia. Jika istrinya menderita, maka ia pun merasa menderita.
Akan berbeda halnya, jika si suami tidak mencintai istri. Ia sekadar
menuntut istrinya agar mencintainya. Memberikan kesenangan, kepuasan dan
kebahagiaan kepadanya. Ketika semua itu tidak sesuai dengan keinginannya,
maka ia bakal selalu merasa tidak bahagia. Tidak terpuaskan. Sebaliknya,
jika istri tersebut kemudian bisa mencintai suaminya - karena kebaikan yang
diberikan terus menerus kepadanya - maka si istri itu justru bakal bisa
memperoleh kebahagiaan karenanya.
Pelayanan yang tadinya dilakukan dengan terpaksa terhadap suaminya, kini
berganti dengan rasa ikhlas dan cinta. Tiba-tiba saja dia merasakan
kenikmatan dan kebahagiaan yang tiada terkira. Kalau dulu ia memasakkan
suami dengan rasa enggan dan terpaksa, misalnya, kini ia melakukan dengan
senang hati dan berbunga-bunga. Kalau dulu ia merasa tersiksa ketika
melayani suami di tempat tidur, kini ia merasakan cinta yang membara.
Ya, tiba-tiba saja semuanya jadi terasa berbeda. Penuh nikmat dan bahagia.
Padahal seluruh aktivitas yang dia lakukan sama saja. Apakah yang
membedakannya? Rasa cinta,semakin banyak ia
memberi, semakin banyak pula rasa bahagia yang diperolehnya. Hal ini
memberikan gambaran kepada kita bahwa yang bahagia itu sebenarnya bukanlah
orang yang dicintai, melainkan orang yang mencintai. Orang yang sedang
jatuh cinta...
Karena itu keliru kalau kita ingin dicintai. Yang harus kita lakukan adalah
mencintai pasangan. Semakin besar cinta kita kepadanya, semakin bahagia
pula kita karenanya. Dan yang ke dua, semakin banyak kita memberi untuk
kebahagiaan dia, maka semakin bahagialah kita...
Begitulah mestinya rumah tangga kita. Bukan saling menuntut untuk
dibahagiakan, melainkan saling memberi untuk membahagiakan.