Kuburan, Panti Asuhan dan Panti Jompo

Mungkin tidak banyak orang yang tahu kalau saya mempunyai tiga kebiasaan yang sering saya lakukan, dimana menurut beberapa temanku adalah suatu kebiasaan yang tidak banyak dilakukan manusia pada umumnya.

Pertama, saya suka banget mengunjungi kuburan, tapi tetep lah di siang hari. Selain nyekar di makam papa, saya akan berjalan mengelilingi kompleks perkuburan sambil membaca satu persatu batu-batu nisan yang terjajar rapi. Kenapa Vie ? Bukan karena alasan untuk mempertebal rasa keimanan dengan mengingat mati, melainkan saya merasakan nyaman dan damai setiap kali saya datang kesana. Entah sudah berapa banyak kompleks perkuburan di Jakarta yang saya datangi. Dan setiap kali saya lagi berada di luar kota maupun di luar negeri, saya selalu sedapat mungkin meluangkan waktu mengunjungi pekuburan setempat.

Kedua, saya juga mempunyai kebiasaan secara teratur mengunjungi panti asuhan. Seperti kebanyakan orang, saya ingin membagi sebagian rejeki dan kasih sayang untuk anak-anak yatim piatu tersebut. Terus terang saya sering tidak dapat mengerti setiap kali mendengar komentar orang dewasa yang tidak mau mengangkat dan mengadopsi anak dengan alasan khawatir tidak dapat jatuh sayang karena bagaimanapun anak-anak yatim piatu ini bukan darah daging atau keturunan langsung. Sungguh, setiap kali saya bermain tersenyum dan tertawa bersama anak-anak ini maupun ketika memeluk dan menggendong untuk menenangkan tangisan mereka, setiap kali itu pula saya merasakan kebahagiaan dan kesedihan yang tidak berbeda dengan yang saya rasakan ketika melakukan hal yang sama terhadap Dali dan Zahra.

Kebiasaan saya yang terakhir dan juga yang belum terlalu lama saya lakukan adalah mengunjungi panti jompo yang juga dikenal dengan istilah Panti Werdha. Tak seperti di panti asuhan, penghuni panti ini tidak membutuhkan uang ataupun bentuk materi lainnya. Tapi mereka sangat haus akan perhatian dan kasih sayang yang tulus. Kesediaan kita untuk duduk mendengarkan para orangtua ini bercerita sudah merupakan kebahagiaan yang tidak ternilai.

Pada suatu kesempatan berkunjung, tiba-tiba mata saya tertumpu pada seorang kakek tua yang duduk menyendiri terpisah dari teman-temannya.
Saya mencoba mendekati kakek tua itu dan mencoba mengajaknya berbicara. Tak sia-sia, si kakek pun mau mengobrol bercerita tentang kisah masa lalunya, "Sejak muda saya menghabiskan waktu dengan bekerja keras mencari uang yang banyak untuk keluarga yang sangat saya cintai. Sampai akhirnya saya mencapai puncak kesuksesan di mana kami bisa hidup dengan nyaman di rumah mewah dan fasilitas yang sangat memadai.
Saya dapat mengirim anak-anak untuk bersekolah diluar negeri.
Tibalah masa kami sebagai orangtua untuk saatnya pensiun dan menikmati masa tua kami. Sayang, kematian istri tercinta karena sakit meninggalkan saya sendirian di rumah mewah yang telah kami tempati selama 50 tahun lebih. Hidup pun terasa hampa. Saya merasa kesepian, anak-anak sibuk dengan kehidupan dan keluarganya masing-masing.
Suatu hari anak-anak mengusulkan untuk menjual karena biaya perawatannya tinggi, tidak sebanding dengan manfaatnya. Dan anak-anak pun menambahkan dengan menjual rumah ini, saya tidak akan kesepian lagi karena saya bisa bergiliran tinggal di masing-masing kediaman anak-anak saya.
Saya pun menyetujuinya, selain karena saya juga tidak memerlukan rumah besar lagi, saya pun selalu menuruti keinginan anak-anak. Setelah itu bergiliran saya pun tinggal dengan anak-anak, tapi
ternyata apa yang saya harapkan tidak menjadi kenyataan. Saya tetap merasakan kehampaan yang sama karena mereka terlalu sibuk, tidak punya waktu untuk memperhatikan saya, bahkan buat sekedar menyapa kesehatan saya pun tidak pernah mereka lakukan. Saya merasa dianggap tidak ada dalam kehidupan mereka. Saya tidak mengenal anak-anak saya lagi. Saya dan anak-anak bagaikan orang asing yang tidak terikat pertalian darah diantara kami. Kehidupan terus berjalan setiap hari dengan rasa kehampaan dan kesepian yang makin dalam, sampai akhirnya tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, apalagi meminta persetujuanku, mereka mengirim saya ke panti jompo ini.
Dan saya pun tidak mengharapkan lagi kedatangan mereka untuk berkunjung ke panti ini untuk melihat keadaan saya Bapak mereka di panti ini. Sehingga saya tidak akan kecewa dan sakit hati menghadapi kenyataan bahwa mereka memang belum pernah datang sekalipun mengunjungi saya di panti ini."

Saya sangat terharu mendengar cerita kakek tersebut dan sejak itu saya selalu menyempatkan diri untuk berbicara dengan sang kakek setiap kali datang berkunjung ke sana.

Hm....miris banget ya....apakah dalam hal memperlakukan orangtua, bangsa kita juga sudah berkiblat ke gaya hidup orang barat sana...?
Sampai hatikah kita mengirimkan orang tua kita ke Panti Jompo dengan alasan supaya mereka
banyak teman tetapi sebenarnya karena kemalasan dan keengganan kita dalam mengurus mereka di masa tua?
Bukankah suatu haripun kita akan sama seperti mereka, menjadi tua dan kesepian?
Ingatlah bahwa tanpa Ayah dan Ibu, kita tidak akan ada di dunia dan menjadi seperti ini. Jika kita masih mempunyai orangtua, bersyukurlah sebab banyak anak yatim-piatu yang merindukan kasih sayang orang tua.
So, just love our parents unconditionally!