Suara Hati Dali
Bulan Februari kemaren gw harus mondar-mandir ke sekolah Dali, tempat Dali sehari-hari menuntut ilmu di kelas 2. Waktu itu gw memang harus berurusan dengan wali kelasnya. Berdasarkan pengamatan atas tingkah laku dan sikap belajar Dali di kelas, wali kelasnya mengatakan bahwa ada masalah yang dikhawatirkan apabila dibiarkan dapat menghambat prestasi Dali kelak, mengingat di kelas tiga nanti akan diberlakukan sistem belajar baru dimana setiap satu mata pelajaran akan diajarkan oleh satu guru, sedangkan untuk kelas satu dan dua maseh diberlakukan sistem dimana satu guru mengajarkan semua mata pelajaran. Sistem belajar dan mengajar untuk kelas satu dan dua memungkinkan sang guru yang sekaligus sebagai wali kelas untuk berinteraksi dan mengenal murid-muridnya satu persatu secara lebih dekat dan intens, yang memang bertujuan menggali dan mengenal keunikan termasuk kelebihan dan kelemahan serta menyiapkan pondasi yang kuat dan kemandirian murid untuk mengikuti ritme belajar dan mengajar di kelas-kelas selanjutnya dimana sistem baru yang diterapkan di kelas tiga dan seterusnya itu akan menuntut kecakapan dan ketekunan siswa secara mandiri.
Saat gw tanyakan (dengan hati deg-degan) apa masalah Dali, wali kelas justru menanyakan apa yang terjadi di rumah sehingga Dali terlihat banyak melamun dan tidak konsentrasi sewaktu belajar di kelas, walaupun sampai semester ketiga ini prestasi Dali lumayan bagus, masih di atas nilai rata-rata kelasnya. Mau tidak mau, gw harus jujur menceritakan semua yang berkaitan dengan Dali secara terbuka, termasuk kelemahan gw sebagai orang tua tunggal yang tidak bisa 100% mendampingi Dali belajar di rumah karena harus membagi waktu antara bekerja dan anak-anak. Dan gw terkejut sewaktu wali kelasnya mengatakan bahwa Beliau telah mengetahui tentang kondisi orangtua Dali. Menjawab keterkejutan gw itu, Beliaupun memberitahukan lebih lanjut bahwa pada awal semester ketiga, Dali sendiri yang datang kepada Beliau dan menceritakan bahwa kedua orangtuanya telah berpisah dan kini papanya sudah menikah lagi. Terus terang, gw speachless mendengar kabar tersebut.
Setelah berdiskusi lebih lanjut membahas tiap kemungkinan penyebab masalah untuk mencari pemecahannya, akhirnya gw dan Beliau sepakat untuk meminta bantuan psikolog sekolah. Sebagai langkah awal, psikolog sekolah menyarankan Dali untuk mengikuti test IQ dan kepribadian sebagai dasar acuan pembanding. Atas seijin kepala sekolah, Dali pun mengikuti test IQ terlebih dahulu yang dilakukan setelah jam belajar sekolah berakhir.
Besoknya Dali kembali mengikuti test kepribadian yang dilakukan secara oral dan tertulis. Gw tidak melihat ataupun mendengar adanya keluhan maupun sikap keberatan dari Dali. Semua terlihat normal saja di mataku.
Seminggu kemudian, gw sendirian kembali pergi menemui psikolog sekolah untuk mengetahui hasil test IQ dan kepribadian Dali. Sebenarnya psikolog tersebut juga mewajibkan papa-nya Dali untuk datang tetapi seperti yang telah gw duga, tidak ada tanggapan dari mantan suami walopun kebetulan saat itu dia sedang dinas kerja di Jakarta. Psikolog sekolah yang tampil bersahaja namun sangat ramah dan penuh affeksi itupun segera memberitahukan hasil test IQ Dali.
Angka kecerdasan rata-rata Dali mencapai 142 (termasuk dalam kriteria 'sangat cerdas') sehingga tidak perlu dikhawatirkan dalam hal intelejensia, tapi angka untuk kemampuan verbalnya hanya mencapai 105 (termasuk dalam kriteria hampir dibawah rata-rata cerdas) dimana permasalahan Dali sangat mungkin terletak di area verbal nya. Hal ini diperjelas dengan hasil dari test kepribadian Dali yang menyebutkan faktor-faktor penyebab terhambatnya perkembangan kemampuan verbal Dali, dimana rinciannya tertulis dalam dua lembar laporan yang diserahkan oleh psikolog itu kepadaku.
Dalam laporan itu gw seperti membaca curhatan 'suara hati Dali' yang membuat gw melihat diri gw semakin jauh dari gambaran idealnya seorang ibu.
- Dali ingin mamanya percaya untuk membiarkan dirinya bermain bebas walaupun sebentar saja. Dengan beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa selama ini gw kurang memberi kesempatan kepada Dali untuk bermain bebas. Gw mengakui kalo selama ini gw tidak membiarkan Dali dan adeknya untuk bermain lari-larian, manjat-manjat karena gw takut Dali dan Zahra jatuh atau terluka. Gw juga mengakui kalo gw membatasi mereka untuk bermain games dan komputer karena gw khawatir mereka akan lupa belajar selain mereka juga harus meluangkan sebagian waktu mereka untuk mengikuti beberapa kursus di luar sekolah. Tetapi ternyata Dali menyimpan suatu permintaan dan keinginan dalam hatinya yang hanya sederhana yaitu diberi kebebasan bermain sesuka hatinya, menikmati masa kanak-kanaknya.
- Dali ingin papanya melakukan perbuatan yang sama seperti yang papanya minta pada Dali. Intinya bahwa Dali tidak mau diminta atau diajari oleh papanya apabila dia lihat papanya sendiri tidak melakukan hal itu. Misalnya papanya seringkali meminta Dali untuk belajar dengan rajin supaya raportnya bagus, sedangkan Dali berpikir papanya saja tidak pernah mendampingi dia belajar dan tidak pernah mau mengambil raportnya, jadi papa cuman bohong saja perhatian ma raportnya Dali.
- Dali ingin mamanya tidak menganggap Dali harus menjadi seperti mamanya waktu kecil. Gw juga harus mengakui seringkali berkata 'waktu mama seumuran kamu...' saat gw lagi memberikan 'ceramah' ke anak2. Dalam banyak hal gw merasa bahwa pengalaman masa kecil dan hidup gw yang suka bekerja keras, disiplin, tidak cengeng dan mandiri merupakan sikap yang juga harus dimiliki oleh Dali dan Zahra, terlebih kondisi masa kecil mereka sekarang lebih tidak kondusif dibanding masa kecil gw dulu. Tanpa disadari, sepertinya gw ingin menjadikan Dali dan Zahra persis seperti diri gw. Gw lupa dengan konsep dasar kalo setiap individu itu adalah unik dan mempunyai potensi serta kelemahan masing-masing yang berbeda dan tidak bisa disamakan satu sama lain. Gw dan mungkin kebanyakan orangtua lainnya seringkali ingin menjadikan anak sebagai foto copy diri kita atau bahkan beranggapan bahwa anak adalah orang dewasa dalam bentuk mini sachet.
- Dali ingin mama dan papanya tidak marah kalo Dali nakal atau berbuat salah. Tanpa disadari, orangtua sering menuntut anak untuk selalu bersikap dan bertindak benar yang kadang hanya demi gengsi semata (ingin anaknya selalu kelihatan sempurna di depan mata orang lain), hingga hampir-hampir tak memberi tempat kepada anak untuk berbuat kesalahan.
Maka anak2pun cenderung akan memilih untuk berbohong dan tidak mau mengakui kesalahan yang telah dibuatnya dengan jujur. Kesulitan baru akan muncul karena orang tua tidak tahu kesalahan apa yang telah dibuat anak, sehingga tidak tahu tindakan apa yang harus dilakukan untuk mencegah atau menghentikannya.
GW menjadi sadar bahwa ada kalanya anak-anak perlu diberi kesempatan untuk berbuat salah, karena anak2 akan bisa belajar dari kesalahannya. Konsekuensi dari sikap dan tindakannya yang salah adakalanya bisa menjadi pelajaran berharga supaya di waktu-waktu mendatang tidak membuat kesalahan yang serupa.
- Dali ingin mamanya berbicara tentang hal-hal yang tidak hanya tentang sekolah saja". Gw cukup kaget kebiasaan untuk memaksimalkan waktu yang tidak banyak sepulang dari kantor untuk menanyakan ke anak2 tentang kejadian, pelajaran dan PR sekolah yang menurut gw sangat penting namun ternyata buat Dali bukanlah sesuatu yang penting.
Dengan jawaban Dali yang polos dan jujur itu, gw diingatkan bahwa kecerdasan tidak lebih penting dari pada hal-hal lainnya seperti kasih sayang.
- Dali ingin papanya minta maaf pada mama karena sekarang mama harus bekerja dari pagi sampai malam mencari uang untuk sekolah Dali dan dedek dan papa juga harus minta maaf pada Dali dan dedek karena tidak pernah mau mengambil raport Dali dan dedek di sekolah. Kata-kata yang satu ini hampir membuat gw tidak dapat menahan air mata, tidak pernah menyangka Dali bisa berpikiran seperti itu. Gw telah menorehkan kekecewaan yang begitu dalam di hati anakku itu.
Memang dalam banyak hal orang tua berbuat benar tetapi sebagai manusia, orangtua juga tak luput dari banyak kesalahan.
- Dali ingin mamanya mencium dan memeluk Dali erat-erat seperti mama mencium dan memeluk Zahra. Sebenarnya gw pernah mencoba untuk mencium dan memeluk Dali tapi waktu itu Dali menolak karena katanya Dali kan laki-laki dan udah gede.. masa dicium kayak anak kecil, malu dilihat teman2nya. Jadi gw pikir emang itu yang Dali inginkan. Ternyata gw salah, pelukan hangat dan ciuman sayang seorang ibu tetap dibutuhkan.
- Terakhir Dali menuliskan bahwa dia ingin papanya sering menelpon dan mengunjungi Dali dan Zahra ke Jakarta.
Sederhana memang, tetapi seringkali seorang ayah suka lupa bahwa perhatian dan kasih sayang serta peran mereka pun sangat diperlukan oleh anak2nya walaupun sudah ada ibunya sehari-hari yang mendampingi mereka.
Suara hati Dali yang polos dan jujur itu, membuat gw malu karena menyadari bahwa ternyata selama ini gw tidak sepenuhnya benar-benar memahami anak2ku, sebagai orangtua gw sangat egois lebih memikirkan kepentingan diri sendiri dan kepentingan lainnya dibandingkan kepentingan anak2. Dalam banyak tingkah polah anak2, yang menyenangkan sekaligus menjengkelkan, ternyata mengandung banyak pesan yang tidak bisa mereka sampaikan secara nyata kepada kita. Dan tugas kita lah sebagai orangtua harus tanggap atas signal-signal yang mereka berikan. Anak-anak memang harus diajarkan untuk menghormati ayah dan ibunya, tetapi itu juga berarti para orangtua juga harus menghormati hak dan keinginan mereka sebagai anak.