Selamat Jalan Mia...Kami selalu mencintaimu...dan Insya Allah, Kami pun akan menyusul
Everything happens for reason, bahwa suatu kejadian dalam setiap kehidupan tidak terjadi secara kebetulan. Suatu kejadian, baik yang menyenangkan maupun tidak, pasti mempunyai suatu tujuan atau mengandung hikmah, mungkin tidak untuk diri sendiri melainkan untuk orang lain, baik yang kita kenal maupun tidak.
Lalu apakah suatu kejadian memilukan mengenai meninggalnya seorang wanita muda berumur awal 30-an yang sedang bahagia-bahagianya menikmati anugerah kehidupan berupa penambahan seorang anggota keluarga baru melengkapi kesempurnaannya sebagai seorang istri dari seorang suami dan seorang ibu dari, kini, sepasang anak perempuan dan anak laki-laki, akankah juga mengandung hikmah?
Wanita muda yang baru saja menutup mata dan meninggalkan dunia ini pada jam 16.45, tepat di hari pemilihan presiden berlangsung di Indonesia. Wanita muda itu bukan saja merupakan salah satu sahabat sejiwa yang aku punya, tetapi juga merupakan salah satu pesaing tangguh dalam satu fase kehidupanku. Nama lengkap wanita muda itu Asmiati Kamelia Lestari, akrab dipanggil Mia. Aku mengenalnya semenjak kami sama-sama duduk di kelas 3 SDN 01 Pagi Cempaka Putih. Dan semenjak itu pula, sepanjang yang aku ingat, pertemanan diantara kami berdua dan teman-teman sekelas lainnya menjadi semakin dekat dan membentuk suatu ikatan pertemanan yang lebih dalam yang kami sebut sebagai persahabatan sejiwa. Khusus bagi aku dan Mia, sepanjang waktu itu pula kami juga bersaing satu sama lain. Sama-sama bersaing dalam kapasitas sebagai individu maupun dalam kapasitas sebagai sesama ketua dari kelompok masing-masing. Namun, aku tidak pernah bisa mengunggulinya selain harus tetap berpuas diri pada posisi ke-3 dimana Mia selalu menempati ranking ke-2 di kelas, sampai kami lulus SD. Mungkin selain kualitas mutu otak, perbedaan karakter diantara kami berdua juga menjadi salah satu penyebab keunggulan Mia. Mia adalah seseorang dengan pembawaan yang selalu terlihat pendiam, serius, rajin, 'saklek' dan terorganisir sedangkan Alvi adalah seseorang yang kurang lebih 80% berbanding terbalik dengannya alias cerewet, pemalas, tidak terorganisir, manja dsb he..he...
Memasuki masa SMP, tidak banyak yang dapat aku kenang dari seorang Mia. Mungkin karena masa itu aku lagi dimabukkan oleh euforia mendapat banyak teman baru, atau juga karena tidak lama kemudian Mia harus mengikuti orangtuanya yang dipindah-tugaskan ke luar Jakarta. Sejak itupun kami berpisah. Akan tetapi sesungguhnya kami tidak pernah saling melupakan terutama Mia sangat rajin mengirimiku kartu lebaran dan mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku setiap tahunnya. Sampai saat ini, hal itu tetap merupakan salah satu kesan manis tentang Mia yang tidak akan aku lupakan sampai kapanpun.
Pertama kali setelah sekian lama berpisah, kira-kira 3 bulan kemudian aku, Mia dan teman-teman lain dipersatukan kembali oleh kenyataan yang cukup menyesakkan hati. Kenyataan bahwa Mia mengidap kanker usus stadium 4. Penyakit ini mempunyai kesan khusus dalam diriku. Mungkin malah bisa dibilang cukup familiar semenjak kira-kira 9 tahun yang lalu papaku meninggal dunia juga dikarenakan menderita penyakit yang sama. Sehingga sebelum bertemu dengan Mia, sudah terbentuk bayangan awal tentang keadaannya di benakku. Akan tetapi, cukup mengejutkan setelah melihat diri Mia sangat jauh dari bayangan. Dalam kondisi stadium 4, Mia terlihat sangat bahagia menyambut kami dengan senyuman lebar khas Mia :)
Bahkan Mia terlihat sangat sibuk melayani kami sampai-sampai kami harus berulang-kali memperingatkan Mia untuk beristirahat. Namun, Mia tidak mengindahkan peringatan kami. Mungkin Mia ingin memaksimalkan saat-saat kebersamaan kami dengan menciptakan suasana penuh kebahagiaan, mengingat tidak banyak lagi waktu yang kami punya untuk dapat lagi bersama seperti ini. Ya, mungkin Mia hanya ingin kami selalu mempunyai kenangan-kenangan manis yang penuh canda tawa bersamanya, bukan kenangan sedih yang penuh air mata.
Ketika pada satu kesempatan hanya berdua dengan Mia, aku memberanikan diri mengatakan niatku untuk memberikan sebagian colostomy bag yang tidak sempat terpakai oleh papaku, setelah mengetahui Mia menggunakan plastik kilo-an. Aku mengerti keadaan Mia, karena aku dan keluarga pernah berada di dalam situasi dan kondisi yang sama. Jenis penyakit ini bukan saja mengancam kelangsungan hidup sang penderita tetapi juga menggerogoti kondisi keuangan keluarga. Aku sangat diliputi kekhawatiran Mia akan tersinggung mengetahui niatku ini. Bukannya apa-apa, berdasarkan informasi dari dokter yang merawat papaku, penyakit ini juga membuat sang penderita menjadi semakin sensitif. Namun, Alhamdulillah Mia dengan senang hati menyambut niatku ini.
Setelah pertemuan yang berlangsung di rumah Mia, masing-masing dari kami kembali tenggelam dalam kesibukan masing-masing. Sampai kemudian, satu sms masuk yang mengabarkan bahwa keadaan Mia semakin merosot. Refleks tanpa babibu lebih panjang, kamipun sepakat pergi ke rumah Mia malam itu juga. Sungguh miris hati kami melihat keadaan Mia saat itu. Mia, 3 bulan lalu yang terlihat ceria penuh dengan semangat kehidupan di dalam setiap geraknya kini berbaring tak berdaya dengan bobot tubuh yang terlihat semakin merosot. Jantungku beberapa kali berdetak lebih keras ketika melihat Mia sempat tidak mengenali salah satu temanku sehingga harus dibimbing oleh temanku yang lain. Suaranya yang terdengar cadel menambah kerasnya detak jantungku. Kondisi Mia membawa diriku kembali mengingat kondisi terakhir papa sebelum dirawat di ICU sampai akhir hidupnya. Kondisi yang sama persis, seperti dejavu, dan membawa perasaan kekhawatiran dan ketakutan yang sama yang dulu pernah menghampiri diriku seakan-akan mengatakan bahwa waktu Mia tidak akan lama lagi dan mengingatkan kami untuk mempersiapkan diri merelakan apapun keputusan Tuhan untuk Mia.
Pertemuan terakhir dengan Mia, yaitu hari ini, 8 Juli 2009 yang juga merupakan hari terakhirnya Mia di dunia. Setelah sempat sepenuhnya tidak sadarkan diri, Mia menghembuskan nafas terakhir dengan tenang di kediamannya sendiri. Antara rasa ikhlas, bahagia dan sedih bercampur aduk dalam dadaku. Ikhlas karena semua ini merupakan ketentuan Tuhan, bahagia melihat Mia akhirnya terbebas dari rasa sakit yang menyiksanya selama ini di kediamannya sendiri dan dikelilingi oleh keluarga yang mencintainya, dan sedih karena sebagai seorang ibu, aku dapat merasakan perasaan Mia harus rela berpisah dengan dua orang anak balita yang teramat dicintainya. Itu suatu hal yang teramat berat sekali untuk ikhlas dijalani.
Akan tetapi, aku harus tidak membiarkan perasaan sedih ini membelengguku lebih dalam. Terlebih mengingat salah satu pesan Mia yang pernah dikatakan olehnya di saat-saat terakhir dalam hidupnya,"....kanker usus ini bagi gw hanyalah hal kecil...hanya merupakan salah satu penyebab...kalopun nanti gw meninggal, itu memang karena sudah ditakdirkan oleh Allah. Bukan karena penyakit ini. Bisa aja kan gw meninggal sewaktu lagi menyeberang jalan ke taman bacaan depan. Atau bisa aja, lo-lo yang maseh sehat ini malah meninggal terlebih dahulu he..he.....tapi apapun yang terjadi pada diri Mia ataupun lo-lo semua, ikhlas ya karena hidup kita adalah kepunyaan-Nya, sama seperti anak yang dititipkan pada kita....dan tolong jaga persahabatan ini sampai kapanpun...ada atau tidaknya Mia lagi," Mia menutup kata-kata ini dengan senyuman lebarnya, senyuman khas Mia.
Selamat Jalan Mia...Kami yakin Allah akan membalas keikhlasanmu dengan memberikan tempat yang sebaik-baiknya di sisiNya. Amin.