Tantangan dari keluarga untuk single mom, adakah?
Dalam acara diskusi milis single parent, minggu 28 juni 2009 di rumah Mba Reggi, ternyata bukan diriku saja yang menghadapi masalah dengan orang tua terutama pihak ibu ketika kita sedang mengalami proses perceraian.
Misalnya ada seorang anggota milis, Ibu X, yang malah ditampar oleh orang tua nya ketika memutuskan bercerai karena perceraian merupakan aib bagi orang tuanya.
Atau pengalaman lain dari seorang anggota, Ibu Y, yang merasa terombang-ambing tidak dapat tegas dalam menentukan sikap ketika ingin bekerja setelah bercerai karena orangtuanya tidak mengijinkan dengan berkata,"Sudahlah Nak, kamu ngurus saja anak2 toh bapak mereka masih membiayai per bulan." Padahal menurut temanku si Ibu Y ini, seperti sebagian besar yang dialami oleh para ibu tunggal, sang mantan suami hanya memberikan nafkah dalam jumlah yang tidak mencukupi dan itupun sengaja diberikan dengan semena-mena yang seolah-olah menempatkan si Ibu Y ini dalam posisi seperti pengemis.
Hm...dalam hal ini bisa dibilang diriku termasuk orang yang maseh berani menentukan sikap ketika menghadapi orang tua yang mungkin waktu itu kita nilai malah tidak mendukung dalam menghadapi dan menjalani proses perceraian ini. Pengalaman pribadi diriku ini mungkin tidak se-dramatis pengalaman teman-teman milis, tapi mamaku pernah menolak untuk memberitahukan keadaan pernikahanku yang sebenarnya ketika teman-teman mama menanyakan mengapa Alvi malah bekerja kembali di Jakarta. Jawaban mama waktu itu hanyalah,"Oh iya suami Alvi lagi ditugaskan belajar ke negara lain selama dua tahun. Ketimbang si Alvi sendirian bersama anak2nya di Medan lebih baik untuk sementara ini di Jakarta dulu saja sambil menungggu suaminya pulang." Seingatku, aku menyatakan terus terang keberatanku ke mama. Tapi mama malah mengatakan,"ya nanti sajalah palingan lama-lama orang-orang bakalan tau sendiri keadaan yang sebenarnya,"...yang bagiku kata-kata mama itu malah mengartikan bahwa mama yang belum siap atau malah malu akan kondisi perceraianku. Wajar saja bila mengingat bahwa akulah orang pertama dalam sejarah keluarga besar yang mengalami perceraian. Tapi aku bilang ke mama bahwa aku tidak malu untuk mengakui perceraianku ini, karena itu keadaan yang terjadi sebenarnya dan karena aku pula yang dengan secara sadar mengambil keputusan untuk bercerai yang berarti aku dengan secara sadar pula telah siap untuk menerima semua resiko yang berkaitan dengan perceraian itu sendiri, baik yang akan menimpa diriku dan anak-anak, dan aku meminta maaf tapi juga sangat mengharapkan orang-orang yang menyayangiku yang mungkin akan terbawa-bawa dampak dari perceraianku ini untuk bersikap sama. Sepenuhnya aku menyadari bahwa aku tidak bisa memaksakan kehendakku, selain hanya permintaan yang amat sangat untuk mengerti keputusan yang aku ambil.
Tapi sebaiknya memang kita hendaknya terlebih dahulu berusaha memahami dan mengerti maksud orang tua dengan cara yang santun dan baik, berusaha mengerti sudut pandang mereka sebagai orang tua, karena bagaimanapun mereka adalah orang tua yang melahirkan kita dan mungkin di mata mereka, kita tetap anak kecil selamanya walaupun kita juga telah menjadi seorang ibu yang telah melahirkan cucu untuk mereka.
Kekhawatiran dan ketidaksetujuan mereka itu mungkin hanya untuk sementara. Aku maseh percaya tidak ada orang tua yang tidak sayang dengan anak2nya. Tidak ada yang namanya bekas orangtua dan bekas anak di dunia ini.
Apabila cara tersebut tidak berhasil, tetap diri kita yang tau apa yang terbaik buat kita dan terutama anak2 kita, maka tentukanlah nasib dan langkah kita sendiri walaupun, untuk sementara, itu tanpa restu orang tua.
Akan menjadi tantangan buat diriku untuk dapat membuktikan bahwa kekhawatiran dan anggapan semula mereka adalah salah. Dan bahwa gw dapat membuktikan dan mempertanggungjawabkan bahwa keputusan yang aku ambil adalah benar.
Terutama aku tidak mau anak2 hidup dalam situasi yang tidak menentu. Aku tidak mau anak2 melihat bahwa aku tidak dapat menentukan sikap untuk diri sendiri, so bagaimana pula diriku sebagai orang tua bisa menentukan apa yang terbaik untuk diri anak2?
Sebagai single parent, terutama perempuan, ternyata memang semakin terbukti tidak mudah. Tidak hanya cobaan dari luar tetapi juga kita mendapatkan tantangan dari pihak dalam, keluarga salah satunya. Mungkin juga karena kita masih termasuk orang timur yang sangat menjunjung tinggi nilai2 kekeluargaan. Akan tetapi, dibalik itu semua kebahagiaan kita bukanlah orang lain yang menentukan, melainkan diri sendiri. Dan yang namanya kebahagiaan dan kedamaian sangat pantas untuk diperjuangkan.