Cinta Diantara Dua Keyakinan


Seorang teman pernah mengatakan bahwa cinta yang paling menyedihkan adalah ketika cinta yang terhalang oleh adanya perbedaan keyakinan antara dua hati yang saling menyatu. Aku pun pernah merasakan cinta yang seperti ini. Kira-kira 15 tahun yang lalu, hatiku tersangkut kepada seorang pemuda yang berbeda keyakinan denganku. Kurang lebih 6 tahun lamanya kami menjalin hubungan hampir tanpa adanya riak-riak pertengkaran yang menyertai perjalanan cinta kami. Sungguh, aku merasa nyaman dengannya dan begitupula arti diriku baginya. Perbedaaan keyakinan yang kami sadari sejak awal hubungan ini terjalin, juga tidak menjadi penghalang bagi kami. Setidaknya saat itu, satu solusi kesepakatan sudah terancang di benak dan hati kami untuk tetap bersandar pada keyakinan masing-masing jikalau hubungan ini akan dibawa ke tahap yang lebih tinggi, apapun resiko yang akan kami hadapi.

Ketika kami bermaksud untuk melangkah lebih jauh ke dalam suatu bentuk pernikahan, sebelumnya kami memutuskan terlebih dahulu untuk menilai kembali kekuatan cinta kami, keyakinan tekad kami untuk menyatu dengan segala perbedaan yang ada. Perbedaan keyakinan diantara kami, akhirnya malah membuat diriku menyadari bahwa sebaiknya kami tidak bersatu. Bukan karena cintaku kepadanya kurang besar untuk menguatkanku menghadapi segala resiko,akan tetapi karena rasa cintaku yang tulus untuknya yang akhirnya mengingatkanku untuk memberikan yang terbaik tidak hanya baginya, tetapi juga untuk keluarganya.

Sudah lazim, kita orang Indonesia adalah orang timur dimana suatu pernikahan tidak hanya menyatukan dua pribadi saja, tetapi juga meleburkan kedua keluarga besar menjadi satu. Walaupun hampir dikatakan tidak ada pertentangan yang berarti dari kedua keluarga besar kami, akan tetapi diriku percaya bahwa masing-masing keluarga kami akan lebih berbahagia apabila melihat kami berpasangan dengan keimanan yang sama. Namun, alasan keluarga besar hanyalah salah satu alasan dari sekian banyak alasan lain yang tiba-tiba datang menyergap akal dan pikiranku disaat diriku membebaskan pikiran dan juga hatiku untuk menilai ketulusan cinta kami, dan menilai apa yang terbaik untuk diri kami, juga untuk hubungan kami.

Tak dipungkiri sebagai umat muslim yang walaupun tidak terlalu religius, namun tetap selalu menjadi impianku untuk membentuk suatu keluarga yang sakinah, mawadah, dan wa rohmah. Lebih dari sekedar impian untuk membentuk suatu keluarga bahagia. Impianku untuk membentuk suatu keluarga yang sakinan, mawadah, dan wa rohmah ini semula aku pikir bisa ku raih dengan pasangan yang berbeda iman denganku. Pikiran ini semakin kuat ketika hari-hari yang kujalani dengan dirinya selalu bernuansa kebahagiaan dan kenyamanan. Namun, haruskah kebahagiaan kami ini menutup mata kami dari kepentingan orang lain, membuat diri kami menjadi egois?

Dapat dipastikan penyatuan kami nantinya akan lebih banyak membawa dampak dibandingkan pernikahan beda suku bangsa namun tetap pada satu keyakinan. Salah satu dampak tersebut, misalnya, adalah masalah dengan anak-anak kami yang nantinya lahir dalam lingkungan dua agama. Jikalau ntar anakku lahir mau dimasukin ke agama apa donk?! ke agamaku ato agama pasanganku?! apa bisa segampang itu untuk memutuskan agama yang akan dianut oleh anak kita? apa kita berhak tuh memutuskan agama mana yang akan dianut oleh anak kami dengan begitu saja?

Agama dan cinta adalah dua hal yang terpisah dan menjadi sesuatu yang paling bersifat pribadi dari seseorang individu. Maka apabila agama dan cinta yang awalnya sudah berbeda akan terasa susah untuk dipersatukan, walaupun mungkin orang lain ada yang berpandangan berbeda. Namun, saya ingin pasangan tidak hanya menemani saya dalam dunia ini tetapi juga untuk di akhirat nanti. Kalau kami tidak dalam satu haluan kapal yang sama akankah nanti kami akan berlabuh di dermaga yang sama pula?