Anak-anak Broken Home (Part II)
Bisanya orang beranggapan bahwa anak-anak 'broken home' pasti akan memulai dan terus mempunyai kehidupan yang buruk karena dirugikan oleh perceraian atau perpisahan orangtuanya. Menurutku, bukan peristiwa perceraian atau perpisahannya itu sendiri yang berpengaruh buruk terhadap anak-anak, melainkan besar kecilnya konflik yang terjadi antara orangtua. Konflik orangtua yang terus menerus terjadi, apalagi berlangsung di depan muka anak-anak itu sendiri, secara psikologis akan merusak anak. Konflik ini bukan saja berarti pertengkaran mulut/fisik antar orangtua, tetapi 'perang dingin' dimana kedua orangtua saling mengacuhkan satu sama lain juga dapat dianggap sebagai konflik karena berpotensial mengganggu dan menghancurkan kehangatan dan keharmonisan suatu keluarga. Jadi, istilah anak-anak 'broken home' ini bukan saja meliputi anak-anak yang orangtuanya bercerai/berpisah tetapi juga anak-anak dalam keluarga dengan sepasang orangtua yang utuh namun selalu bertengkar dan bertikai setiap saat.
Anak-anak merupakan alasan yang sangat baik untuk kita sebagai orangtua berusaha mempertahankan keharmonisan keluarga dan menghindari sebisa mungkin terjadinya perceraian atau perpisahan. Akan tetapi, apabila perceraian/perpisahan itu tidak terelakkan, orangtua harus menyadari bahwa kerjasama antar orangtua setelah terjadinya perceraian/perpisahan sangat diperlukan bagi anak-anak untuk tetap bebas dan mudah mendapatkan dan menikmati kehangatan hubungan antara orangtua dan anak-anak. Aktif memberikan dan mendorong hubungan yang positif antara anak-anak dan mantan pasangan adalah hal terbaik yang dapat aku berikan sebagai pengganti ketidakmampuanku untuk bertahan terus hidup bersama dalam perkawinan.
Ketika perpisahan/perceraianku terjadi, Dali masih berumur 2 tahun dan Zahra hampir 1 tahun. Aku mungkin termasuk seorang ibu yang beruntung karena tidak menemukan dampak perceraian yang harus dikhawatirkan terhadap pertumbuhan anak-anakku. Mungkin karena mereka masih sangat kecil ketika perceraian itu terjadi, sehingga memori memngenai kehidupan mereka dulu bersama aku dan papanya tidak begitu terekam di benak mereka. Kalaupun ada yang harus aku khawatirkan, mungkin sedikit masalah yang terjadi pada Dali di masa-masa awal paska perceraianku. Laporan dari gurunya bahwa Dali sering melamun di dalam kelas, tidak fokus pada pelajaran, mendesakku untuk mencarikan seorang psikolog anak untuk Dali. Dari hasil penilaian sang psikolog, dikatakan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Umur Dali yang kurang lebih 2 tahun pada saat perpisahan itu terjadi dan sempat merasakan mempunyai keluarga dengan orangtua utuh, sedikit banyaknya Dali masih menyimpan dalam benaknya mengenai keidealan kondisi orangtua yang utuh. Sehingga perubahan yang terjadi, membawa kebingungan tersendiri pada Dali. Sifat Dali yang tidak ekspresif, penurut, kalem dan pendiam membuatnya tidak bisa mengungkapkan perasaannya secara impresif dan terbuka, walaupun dengan memakai bahasa anak-anak. Dali lebih memilih untuk menyimpan perasaannya sendiri dalam hatinya. Ketika aku menanyakan kepada psikolog itu kenapa tidak aku lihat masalah pada Dali di rumah seperti melamun yang kerap dia lakukan di sekolah, sang psikolog kembali menjawab bahwa Dali sedikit lebih dewasa daripada anak-anak seumurnya (saat itu dia masih berumur 6 tahun) karena telah bisa berpikir untuk tidak menambah masalahku sehingga Dali berusaha sebisa mungkin tidak membuat suatu masalah yang bisa membuat aku khawatir.
Aku sangat terkejut mendengar jawaban dari sang psikolog dan menanyakan lebih lanjut bagaimana seorang anak yang baru berumur 6 tahun bisa berpikir seperti itu, bisa sedemikian mengerti dan se-sensitif itu atas masalah yang sedang menimpa kedua orangtuanya?
Sang psikolog masih dengan sabar memberiku jawaban. Anak-anak dengan kitaran umur seperti Dali, cenderung merasa bersalah atas perpisahan yang terjadi terhadap orangtuanya. Anak-anak ini merasa bahwa mereka adalah pusat seluruh kehidupan dan pemikiran serta keputusan orangtua. Jadi secara ringkas dan sederhana, anak-anak ini lalu menyimpulkan bahwa tentulah ada perbuatan dari mereka yang tidak disukai orangtua yang akhirnya menyebabkan orangtua menjadi bertengkar dan kemudian berpisah. Hal ini terjadi karena anak-anak seusia Dali cenderung merasa bahwa ketidakmampuan orangtua adalah juga ketidakmampuan mereka. Mereka tidak mampu melihat bahwa orangtua juga saling tergantung dan dapat berbuat salah.
Ketika aku kembali menanyakan lebih lanjut, mengapa hal ini tidak terlihat pada Zahra? Sang psikolog mengatakan karakteristik temperamen tiap anak juga berkontribusi terhadap cepat lambatnya penyesuaian diri setiap anak terhadap perubahan yang sedang terjadi di lingkungan terdekatnya. Sebagian anak lebih lamban dari yang lainnya dalam mengembangkan rasa aman dan percaya diri terhadap perubahan yang terjadi, biasanya anak-anak yang pemalu, pencemas, pendiam dan Dali termasuk dalam kategori ini. Sehingga anak-anak dalam kategori ini memerlukan lebih banyak dukungan dan bimbingan dari kedua orangtua untuk melalui saat-saat transisi yang sulit ini. Sebaliknya, ada juga anak-anak yang secara alami dapat menyesuaikan diri dengan lebih baik dan mudah. Anak-anak yang masuk dalam kategori ini biasanya adalah anak-anak yang responsif, ekspresif, dan mudah bergaul. Zahra termasuk dalam kategori ini.
Mendengar penjelasan panjang lebar sang psikolog, aku semakin menyadari bahwa penting sekali bagi orangtua, tidak hanya bagi yang telah bercerai tapi semua orangtua, untuk menjamin tetap terpenuhinya rasa harga diri, rasa aman, rasa dicintai bagi anak-anak. Ternyata, anak-anak memang sangat peka terhadap perasaan yang dipancarkan orangtua seberapapun masih kecilnya mereka. Tanggap tidaknya kita sebagai orangtua terhadap perasaan mereka ini lah yang akan menentukan dan mempengaruhi pertumbuhan kualitas mental pribadi mereka di tahun-tahun berikutnya.
Melanjutkan peran sebagai orangtua untuk anak-anak 'broken home'--->part III