Nyaman banget seh jadi single parent? Emangnya enak ya?


Kalo bisa, saya jg tidak ingin bercerai dan saya jg tidak mau anak2 mempunyai orangtua yg berpisah, seperti kebanyakan yang diinginkan oleh setiap manusia di bumi ini. Seperti itulah juga yg saya katakan kpd teman saya yg pernah bertanya, "ih klo gw inget gimananya lo jaman kuliah dulu, ga ngebayang kok lo bs cerai dan ngalamin kyk gini". Jawaban sy waktu itu simple sekali, sy cuman bilang, "Jangankan lo, gw aja yg ngalaminnya suka ga percaya".

Nah, tentu teman2 bingung. Pertama sy memutuskan (dengan yakin) untuk menjadi seorang single mom. Tapi kenapa kok sekarang bilang "ga percaya" yg jg berkesan spt "wish it is only a nightmare" atau "wish it did not a reality" atau malah berkesan sy tidak menerima takdir jalan hidup ataupun malah spt (agak) menyesali keputusan itu..

Tetapi, bukan itu maksudnya...sy ga percaya bahwa akhirnya sy hrs menerima kenyataan bahwa "sesuatu yg dimulai dengan niat baik, tidak selalu akan berakhir dengan baik"...hm...ironis sekali kan, krn selama ini yg sering didengar adalah quote "segala sesuatu yg didasari niat baik, akan berakhir jg dgn baik". Well, mungkin pepatah tadi berlaku untuk kebanyakan orang yg beruntung dan saya termasuk orang yg kurang beruntung he...he....

Sejak awal pernikahan, sy selalu berniat untuk menjaga perkawinan dan menjadi seorang istri dan ibu yg baik dan disayangi keluarga, dan niat saya itu utamanya bukan didasari oleh rasa cinta atau tanggung jawab kpd suami, orang tua dan keluarga, tetapi lebih karena didasari oleh perasaan telah berjanji/berkomitmen di hadapan Allah yg tentunya apabila komitmen tsb dipermainkan, dampaknya adalah suatu beban moral yg sgt besar, di hadapan Allah dan jg sesama manusia.

Sebab itulah, saya saat itu optimis sekali kalo segala sesuatunya akan berjalan lancar dan berakhir indah, apalagi saya lahir dan dibesarkan dlm keluarga yg harmonis, berkecukupan dan sepasang orang tua yg saling mencintai sampai Allah memanggil pulang (alm) Papa. Demikian kuatnya niat tersebut, sy pun menuruti kehendak suami untuk tidak bekerja dan menjadi 100% ibu rumah tangga, walaupun saat itu saya baru saja menyandang gelar pasca sarjana dari Universitas Indonesia dan mendapatkan tawaran bekerja di suatu perusahaan multinasional.

Akan tetapi, diluar rasa optimis mungkin saya agak melupakan, bahwa segala hal yg kita kerjakan termasuk dalam suatu hubungan, pasti akan berhubungan dengan orang lain. Yang tentunya pihak2 terkait ini juga hrs mempunyai niat dan passion atau keinginan yg sama untuk dapat sampai ke suatu tujuan yg (sama) diinginkan. Dan inilah "missing link factor" dalam hidup sy, yang tidak saya sadari sebelumnya.

Saya pribadi berpendapat bahwa benar atau tidaknya perceraian itu tergantung persepsi dan kondisi masing2 individu tersebut..maksudnya mungkin seseorang yang hamil di luar nikah, (oh ya saya sengaja ga mengambil contoh perceraian karena KDRT ataupun selingkuh, karena biasanya persepsi/pendapat individu maupun publik cenderung sama), memutuskan untuk menjadi single parent dan merasa pilihannya itu benar karena dia merasa hidupnya akan lebih baik daripada menikah dengan pacar, setelah melalui pemikiran berulang kali, yang berkemungkinan besar tidak dapat diandalkan untuk menjadi suami atau seorang ayah, misal karena dia pengangguran/terlibat narkoba/penjudi/anak kaya yang manja/etc, sedangkan orang2 disekelilingnya atau keluarga menganggap itu pilihan yang salah.

Keluarga maupun publik malah berpendapat sebaliknya yaitu sebaiknya menikah dengan dasar alasan 'kalian harus mempertanggungjawabkan perbuatan kalian' atau 'jangan sampe anak itu lahir tanpa bapak' atau kalimat kasarnya 'jangan sampai anak itu terlahir menjadi anak haram'.

Nah, tentunya masing2 pihak akan bertahan dengan pendapatnya sendiri dengan argumen mereka masing2. Dalam hal ini kita tidak dapat menilai mana yang benar dan mana yang salah. Jadi dikatakan benar atau tidaknya menjadi single parent, menurut saya, adalah berdasarkan masing2 pendapat pribadi, tidak bisa kita generalisasikan bahwa menjadi single parent itu adalah keputusan yang benar atau keputusan yang salah.

Akan tetapi, dalam hal ini saya juga tidak bermaksud untuk menganjurkan bahwa being a single parent is the right way atau malah membentuk ajang feminisme. Karena, balik lagi ke tulisan saya sebelumnya, bahwa pada dasarnya baik itu laki2 maupun wanita, siapa seh yang pengen bercerai ? Siapa seh yang pengen anak2nya mengalami perpisahan orangtuanya ? Siapa seh yang ga pengen punya pasangan ?... suatu keputusan berani untuk menjadi single parent mungkin lebih tepat dibilang begitu. Mengapa ? Karena saya kembalikan lagi, bahwa pada dasarnya tidak ada satu orangpun di dunia ini yang menginginkan menjadi single parent. Seseorang, termasuk kita2, memutuskan untuk menjadi single parent, tentunya setelah melaui pemikiran dan pertimbangan yang matang, dan tentunya setelah menyadari bahwa kehidupan setelah menjadi seorang single parent tidaklah mudah, malah bisa dibilang teramat berat, apalagi bila tidak ada dukungan dari orang2 terdekat.

Oh ya, saya juga ingin sedikit enambahkan kata2 berikut "being a singleparent does not mean that our children could only live with one of their parents". Secara fisik, saya setuju dengan kalimat diatas. Karena ketika perceraian terjadi, anak2 akan ikut/tinggal bersama ayah atau ibunya saja. Tetapi secara emotionally, spirit ataupun batiniah saya kurang setuju karena walopun secara fisik, anak2 tinggal dengan ayah atau ibunya saja, diharapkan anak2 tersebut tidak akan kekurangan perhatian/kasih sayang/dukungan dari kedua orang tuanya.

Walopun tidak lagi tinggal serumah dengan salah satu orang tua lantas tidak berarti juga berkurangnya kuantitas interaksi antara orang tua yang tidak tinggal serumah dengan anak2nya. Melainkan harus dan lebih dapat meningkatkan kualitas interaksinya. Karena sebenarnya yang lebih dibutuhkan oleh anak2 adalah kualitas kasih sayang dan perhatian, bukan kuantitas. Banyak kita lihat pada keluarga yang utuh tetapi kedua orang tua sibuk, mungkin dapat bertemu setiap hari tetapi kualitas kasih sayang/perhatian ke anak2 sangatlah minimal.

Ada juga pasangan yang tidak memutuskan untuk jadi bercerai karena alasan anak2. Tetapi keputusan tersebut tidak diikuti oleh tindakan-tindakan selanjutnya yang menuju ke arah perbaikan. Mereka malah saling cuek, saling tidak bertegur sapa ataupun malah kadang bertengkar di depan anak2. Mereka tidak jadi bercerai dengan alasan memperhatikan kebutuhan anak2 dimana anak2 membutuhkan orang tua yang komplit, tetapi mereka hanya mengerti itu saja. Mereka tidak mengerti bahwa tidak ada gunanya, malah mungkin semakin menyakitkan bagi anak2 melihat ke dua orang tua yang walopun hidup dalam satu atap tetapi saling cuek. Itu sama saja tidak ada kehangatan ataupun kasih sayang di dalam keluarga tersebut. Jadi, apabila kita memutuskan untuk tidak bercerai dengan alasan memperhatikan kebutuhan anak2 akan orang tua yang komplit. Tanggung jawabkanlah keputusan tersebut dengan benar2 melupakan kesalahan dari pasangan yang mungkin menjadi penyebab hampir terjadinya perceraian, rekonsiliasilah, saling memaafkan dan coba saling tumbuhkanlah rasa saling menghargai dengan dasar cinta dan tanggung jawab kepada pasangan, kepada keluarga, kepada masyrakat dan Tuhan, tentunya.

So, kesimpulannya..tidak bisa dibilang apakah menjadi single parent benar atau tidak, nyaman atau tidak karena alasan,latar belakang dan tujuan antar individu mengenai keputusannya untuk menjadi single parent adalah berbeda..Lagian ngapain seh mempermasalahkan hal-hal seperti ini...lebih baik memikirkan bagaimana single parent tersebut dapat menata dan menjalani masa kini dan masa depannya dengan lebih baik dari masa2 sebelumnya. Bener ga ?:)