Perceraian Tidak Selalu Berakhir Dengan Permusuhan
Cerai atau kata sepakat untuk suatu perpisahan yang dicatat dengan bahasa resmi dalam sebuah akta, mungkin itu kata yang paling tepat.
Pernikahan yang telah dibina selama 4 tahun itu tak bisa gw pertahankan lagi. Walopun kami telah dikaruniai sepasang putra dan putri yang pintar dan menggemaskan. Apakah ada alasan lain dibalik segudang alasan klise lainnya yang membuat gw dan mantan
sepakat untuk tidak sepakat lagi dalam membina biduk rumah tangga?
Hanya kami berdua yang tahu.
Gw dan mantan bukannya tidak sadar akan keputusan yang kami ambil. Terutama saya sebagai pihak pertama yg berinisiatif mengajukan perceraian sepenuhnya sadar dan tanpa paksaan dari orang tua dan pihak mana pun, juga tanpa didasari oleh banyak alasan yang di buat2.
Tekad kami sudah bulat, tidak lonjong lagi. Cerai merupakan pilihan terbaik saat itu.
Lantas setelah semua berlalu, apakah kisah berikutnya yang harus dilakoni oleh gw dan mantan? Tentu ada konsekuensi yang harus kita jalani. Nah, siapa lagi kalau bukan sepasang anak kami. Ikatan resmi tali cinta bolehlah selesai. Namun perjalanan hidup buah kisah kasih kami tak boleh terhenti di tengah jalan.
Anak2 tetap membutuhkan kasih sayang dari kedua orang tua, dan semua embel2 kebutuhan hidup lain.
Inilah akibat dari sebuah perpisahan. Namun, gw dan mudah2an mantan dan pasangan barunya paham
betul akan konsekuensi perpisahan ini. Walau sudah tak berada dalam satu ikatan lagi, namun kami masih memikul tanggung jawab bersama, yakni kehidupan anak2. Tapi, benarkah cinta gw dan mantan terhenti hingga cukup sekian di sini?
Walau sudah bercerai, namun gw dan mantan masih tetap berkomunikasi
dengan cukup baik. Bahkan mungkin lebih baik dibandingkan dulu sewaktu masih menjadi pasangan suami istri. Hubungan kami kini seperti layaknya hubungan dua orang sahabat.
Rupanya inilah wujud cinta baru di antara kami. Gw dan mantan memang
sudah tidak terikat pernikahan, namun cinta sejati yang semestinya tumbuh dalam masa perkawinan, malah tumbuh lebih subur ketika kami tidak lagi berada dalam ikatan
pernikahan.
Selama ini publik selalu dipersepsikan bahwa mencintai seseorang tak harus memiliki. Justru saya menemukan anti-thesis dari quote tersebut. Cinta pasti memiliki. Memiliki tidak berarti bahwa gw harus menikah dengan orang yang gw cintai.
Memiliki dalam arti suatu pernikahan, itu hanyalah sekedar persoalan
administratif belaka. Dan bila cinta tidak sampai ke pernikahan, tak berarti cinta itu hilang.
Kalau gw mencintai seseorang, maka sudah tentu gw berusaha untuk memberikan yang terbaik bagi dirinya. Tak ada kata tapi. Tak ada kata seharusnya begini dan begitu. Utuh tanpa syarat.
Makna yang lebih dalam, bukan hanya materi dan perasaan semata, gw pun harus
memberikan kepadanya kebebasan. Memberikan kepadanya untuk memilih
pilihan-pilihan yang dikehendakinya yang dapat membuat dirinya lebih bahagia, walaupun gw dan anak2 harus terluka karena pilihan yang dipilihnya.
Bunda Teresa pernah mengatakan, mencintai secara sejati adalah mencintai hingga terluka. Sekali memberi diri, cinta harus tuntas tanpa kembali. Karena setiap kali cinta diberikan, ada onggokan hati yang ikut tergali dari pemberi cinta.
Mencintai seseorang memang harus sepenuh hati. Tetapi patut diingat, hal itu tidak musti berlaku sebaliknya. Suatu anugerah bila cinta
yang kita berikan mendapat timbal balik dari orang yang kita dicintai. Kenyataannya, tidaklah selalu demikian.
Tapi sekali lagi, bukan berarti bahwa cinta itu harus pergi.
Satu contoh cinta sejati yang tak perlu diperdebatkan lagi, adalah cinta orangtua kepada anaknya. Orangtua manapun, pasti akan berusaha untuk memberikan yang terbaik bagi anaknya.
Bagi gw pun, hal tersebut diatas adalah sesuatu yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Dibalik rasa banyak kekhawatiran gw terhadap anak2, gw akan menyerahkan sepenuhnya kebebasan
hidup untuk anak2, seperti memilih pekerjaan yang cocok, karir yang dijalankan, dan tentu saja pasangan hidup yang diinginkan. Gw tak akan mengekang
keinginan-keinginan tersebut. Mengapa? Karena rasa cinta gw yang teramat
besar untuk Dali dan Zahra.
Cinta, pada akhirnya, memang hanya sebuah kata, tetapi beribu makna.
Orang yang memberikan cintanya secara utuh adalah mereka yang paling memahami makna tersebut.
Dengan adanya perpisahan , mudah2an gw termasuk dari sedikitnya orang yang benar2 bisa memahami makna sesungguhnya dari Cinta.