Vie Peduli Indonesia


Informasi mengenai latar belakang pendidikan maupun pekerjaan ternyata juga dapat menimbulkan pertanyaan, misalnya kepada diriku:
1. Lah resign dari perusahaan di Singapura, kok sekarang malah milih kerja di LSM ? Gajinya kan kecil...piye toh?
2. Memangnya cukup tuh gaji LSM buat ngidupin anak2 kamu? Inget loh kamu itu janda dengan 2 anak yang harus kamu nafkahin sendirian?
3. Kenapa ga milih kerja di LSM cabang (kayak pohon aja ada cabangnya ya h..he..) luar aja seh?
4. Mosok lulusan S1 dan S2 dari UI kerjanya kayak gini? Udah gaji kecil, waduh..apa toh yang didapat weleh..weleh....(tips buat para pembaca...plz bacanya sambil ngebayangin si tokoh penanya lagi berkacak-pinggang sambil mulutnya nyerocos mulu dan tak lupa menggeleng-gelengkan kepalanya....xixixi...xixix....bisa ga ngebayanginnya?)

Jawaban Vie atas banyaknya pertanyaan yang intinya "Mengapa begini,dan, Mengapa begitu?"

Mengapa gw memilih untuk bekerja di LSM karena gw menemukan diri gw jatuh cinta kepada dunia NGO, setelah gw sedikit mengenal dunia ini dari pengalaman mengaudit sewaktu bekerja sebagai auditor yang kebetulan pula client-client gw itu sebagian besar adalah para NGO seperti Yayasan Indonesia Sejahtera, Oxfam,EED, Tifa, Save The Children, Yayasan Dian Desa, UNHCR, Sintesa Kendari, UNDP dan maseh banyak lagi.
Plus setelah juga merasakan pengalaman bekerja di perusahaan komersial, semakin menambah keyakinan bahwa gw lebih mencintai dunia NGO ketimbang dunia komersial.
Dan tentang mengapa-nya gw memilih untuk bekerja di LSM lokal ketimbang international karena gw mempunyai pemikiran dan pendapat sendiri terhadap hal ini.

Udah lumrah setiap orang ingin bekerja di tempat yang sebaik-baiknya, dalam artian bonafide, yang acapkali identik dengan sebutan 'Multinational Company/Foundation' maupun 'Foreign Company/Foundation' tentunya dengan alasan gengsi/status, uang, juga prospektif karir yang luas dan cerah. Apalagi bagi yang merasa lulusan dari universitas luar negeri ataupun universitas negeri peringkat atas seperti universitas dimana gw menjadi salah satu lulusannya, tentu dan juga wajar sekali mempunyai tujuan untuk bekerja di perusahaan-perusahaan besar ini.

Anehnya, gw mungkin termasuk dari sedikitnya manusia yang tidak merasakan desire untuk bekerja di perusahaan-perusahaan hebat ini. Kenapa? Hanya karena punya alasan dan impian yang sederhana dan wajar saja, yaitu gw ingin berkontribusi kepada perusahaan/yayasan lokal sehingga perusahaan/yayasan lokal ini bisa sama hebatnya dengan perusahaan/yayasan international itu, tidak lagi menjadi pihak nomer sekian di negeri sendiri, kalah dengan badan-badan asing. Dimana impian akhirnya adalah perusahaan/yayasan lokal ini juga akan menjadi tempat tujuan kerja yang potensial bagi para pencari kerja, terutama yang bermutu tinggi. Dan setiap orang bisa bangga-nya bilang bahwa dia bekerja di perusahaan/yayasan lokal dan gaji yang dia dapatkan bisa membuat hidupnya sejahtera, tidak berkekurangan. Tidak kalah dengan kebanggaan dan fasilitas yang orang-orang lainnya dapat dari Perusahaan/Yayasan Asing.
Impian-impian ini juga yang membuat gw, setidaknya sampai saat ini, masih mantap menolak 'pinangan' dari LSM ber-merek International dengan 'mas kawin' yang bisa membuat mata bling..bling...:)

Kalau setiap lulusan inginnya bekerja di perusahaan-perusahaan asing, kapan badan usaha dalam negeri bisa bangkit? kapan kita membangun kekuatan negeri kita sendiri kalo kontribusi kita selama ini jatuhnya ke pihak asing lagi? Kita semua menyatakan bahwa kita cinta Indonesia...tapi apakah perilaku kita sehari2 sudah mencerminkan pernyataan yang kita ucapkan tersebut?
Karena ga ada uangnya? Hm...picik sekali bagi orang yang berpikiran tentang ini. Ga munafik kalo gw juga butuh uang tapi seharusnya kita yang mengendalikan uang dan bukan uang yang mengendalikan kita. Alasan lainnya juga karena sebagai bangsa yang ber-agama dan percaya adanya Tuhan tentunya tau dan percaya kalo rejeki kita itu diatur dan dari Tuhan bukan diatur dan dari Pihak Dunia...Jadi ngapain takut ga ada uang? Gw aja yang janda ber-anak dua ga takut :)

Sampai detik ini, hampir seluruh rakyat mengumbar omongan, berteriak-teriak ke pihak pemerintah bahwa rakyat menginginkan perubahan yang dapat membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Atau lucunya banyak yang mengaitkan dan mengharapkan bahwa naiknya Presiden Amerika Serikat Obama akan dapat membawa perubahan positif untuk Indonesia, sehingga di Indonesia pun terutama Jakarta telihat begitu gegap gempita menyambut kemenangan Obama tempo hari.
Pendapat gw atas fenomena tersebut adalah adanya harapan yang berlebihan dari masyarakat yang ditujukan tidak pada tempatnya. Seolah-olah masa depan Indonesia ada di tangan pemerintah atau tergantung pada Obama.
Nasib dan masa depan Indonesia ada di tangan kita sendiri, tangan rakyat Indonesia. 1000 orang yang duduk di kabinet sana ditambah satu orang Obama tidak akan dapat membawa Indonesia bergerak menuju perubahan. Perubahan nasib negara kita ini tidak akan datang 100% dari pergantian kabinet ataupun presiden, baik yang terjadi di Indonesia maupun di dunia luar sana. Kalau memang kita ingin adanya perubahan, sadarilah kalau hanya kita, rakyat Indonesia, yang bisa mewujudkan impian adanya perubahan yang positif itu menjadi nyata.

Memang benar, sebagai manusia dan rakyat biasa, kemampuan dan kekuasaan kita terbatas. Banyak sekali hal-hal di luar jangkauan kita yang tidak dapat kita kendalikan. Tapi at least hal satu-satunya dan yang pasti 100% bisa kita kendalikan adalah perilaku dan tindakan kita.
Seperti contohnya kita pengen negara kita ini tidak lagi dikenal dengan predikat memalukan sebagai salah satu negara terkorup di dunia. Untuk itu kita harus memulai dari diri kita sendiri untuk tidak korupsi.

Contoh yang lain, Indonesia sebagai negara hukum tapi kok banyak praktisi hukumnya melakukan pelanggaran hukum dan maseh banyak terdapat kasus-kasus pelanggaran hukum lainnya. Untuk itu kita harus sadar hukum dong...melek hukum...jangan lagi menggantungkan diri sepenuhnya pada para professional yang belum tentu 100% membantu kita sepenuhnya. Kita tidak akan dapat dibodoh2i apabila setidaknya mempunyai pemahaman yang cukup mengenai hak-hak dasar kita sebagai manusia dan warga negara. Jadi kita ga akan bisa dengan mudah begitu saja disalahkan terlebih dijadikan kambing hitam atas suatu perbuatan yang tidak kita lakukan. Apabila rakyat kita menjadi semakin kritis maka peran dan dominasi pemerintah pun dapat kita kontrol sehingga lama kelamaan porsi dominasi pemerintah yang merugikan masyarakat akan berkurang.

Dan kita pun tidak akan lagi mengadahkan tangan ke pihak asing atau mengharapkan bantuan asing. Kita sebagai manusia punya yang membedakan dari makhluk hidup ciptaan Tuhan lainnya adalah akal pikiran dan harkat martabat. Apakah kita tidak malu dikenal sebagai bangsa yang selalu mengharapkan bantuan? Tidakkah kita ingin dikenal masyarakat dunia sebagai bangsa yang mempunyai harkat martabat tinggi?
Lagipula gw juga berkeyakinan bahwa yang bisa membantu rakyat Indonesia yang kurang beruntung itu ya Kita, sesama rakyat Indonesia. Hanya kita-lah yang benar2 mengerti tentang keunikan hidup, adat, budaya dan segala sesuatunya. Jadi hanya kita lah yang seharusnya mengerti apa yang dibutuhkan dan apa yang harus dikerjakan untuk membawa Indonesia ke arah yang lebih baik.

Jadi apa dunk yang menjadi hambatannya selama ini kalo ternyata resep-nya se-simple itu? Ya hambatannya (dan ini neh yang menjadi penyakit ber-akar) adalah ternyata tingkat kepedulian kita tuh rendah dan berfluktuasi berdasarkan sikon.
Kalo lagi ada bencana alam maka bisa dilihat tingkat kepedulian kita tuh besar, tetapi tingkat kepedulian kita cukup rendah atas masalah2 dan penderitaan sesama yang sehari2 terjadi di sekitar kita. Kenapa ya? sayangnya, gw juga belom tau alasannya!