Media dan Konsumerisme
Menarik juga seh buku yang lagi gw baca ini mengenai kisah seorang gadis muda yang menjalani operasi plastik berulang-ulang kali hanya untuk mempercantik dirinya sampe akhirnya dia udah ga jelas berbentuk seperti apa. Hmm jadi inget kisah berita yang dulu sempat heboh (lebih tepatnya sih tragedi kali ya) mengenai kematian seorang wanita muda saat mencoba mengimplemen silikon ditubuhnya. Ya berita tentang kematian orang dengan kasus yang disebutkan diberita sebenernya bukan sekali ini aja, tapi udah beberapa kasus dah terjadi di Indonesia.
Menariknya juga kalo gue baca berita itu, setidaknya gue jadi bisa melihat beberapa kecendrungan masyarakat saat ini yang mau mengambil resiko yang besar demi merubah penampilannya agar terlihat lebih menarik.
Tapi dalam hal ini gue sebenernya pengen menuntut tanggung jawab masyarakat, terutama media masa, lebih-lebih Televisi atau Majalah/Tabloid. Menurut gue media-media ini seharusnya mengemban misi tidak hanya memberikan informasi dan hiburan tetapi juga harus memiliki rasa tanggung jawab untuk mencerdaskan bangsa (ca elah bahasanya....). Iya dooong gue setuju dengan pendapat siapa ya yang bilang kalo Indonesia itu adalah negara yang terbelakang (itu harus kita akui) dan untuk mengejar ketertinggalan dari negara lain, jelas membutuhkan usaha yang keras, dan disinilah menurut gue media masa memiliki peranan yang penting.
Every day we are bombarded with consumerist publicity that wants to get into our heads and our pockets. media, peer pressure, and other cultural manipulators try to control our decisions. Skinny beauty patterns cause people to go under strict diets that may cause them get sick and in many cases lead them to death. Fashion becomes an addiction. Shopping Malls become cathedrals where people find fulfillment in shopping. Shopping beyond our true needs and poor money management skills bring us to an almost eternal debt. Peer pressure pushes people to live and act against their true selves, it pushes people to drink, to get high, to hook up, in order to fit in the group.
Gue sangat prihatin sama media sekarang yang cendrung mengabaikan kepentingan utama publik dengan kepentingan komersial media semata. Harus di akui kalo masyarakat memang lebih menggemari tayangan-tayangan "tidak mendidik" seperti sinetron, gosip, atau misteri-misteri dst, tak heran akhirnya media berlomba-lomba menyajikan acara itu. Tapi di balik itu gue menuntut peran media dalam mencerdaskan masyarakat, tidak semata mengejar keuntungan semata.
Kalo mengaharap media mau merubah format beritanya rasanya akan sulit, karena jelas orientasinya adalah keuntungan. Oleh karena itu gue sih sebenernya mengharapkan sekali pemerintah berperan aktif dalam "memaksa" media untuk mengemban tanggung jawab mendidik masyarakat. Parahnya usaha "pemaksaan" ini pasti akan ditanggapi secara negatif oleh pers, karena trauma oleh zaman-zaman orba yang membredel berbagai media yang tidak segaris dengan pemikiran pemerintah.
Kalo lihat artikel atau apalah yang dihadirkan oleh media masa baik televisi ataupun majalah-majalah kebanyakan mengumbar konsumerisme ataupun hedonisme. Terus terang gue agak-agak muak lho liat acara-acara life style, apalah bentuknya mau soal fashion terbaru, gembar2 kartu kredit, gaya gaul, gaya hidup bebas dan hal-hal sejenisnya. Gue sudah melihat bahwa media saat ini ternyata memainkan peranan yang lebih kuat pada pembentukan karakter seseorang ketimbang orang tua atau lingkungannya sendiri.
Kembali ke contoh awal soal kematian korban silikon. Gue yakin seyakin-yakinnya dia mau sampe bela-belain memperbesar payudaranya dengan silikon yang berbahaya karena dirinya menganggap itu akan membuat dirinya menarik di hadapan lawan jenis. Kenapa dia sampai berfikir begitu, gue hampir pasti yakin pasti dia termakan definisi kecantikan adalah memiliki payudara yang besar seperti digembar-gemborkan oleh media. Mungkin memang hal tersebut benar dapat menarik bagi sebagian orang tapi apakah semua orang berfikir begitu? gue rasa gak semua. Nah yang gue ingin rasanya menggugat media-media (baik dalam ataupun luar negeri) dimana mereka bersama industri-industri yang terkait (kapitalis) bisa dengan seenaknya memaksa seseorang untuk mengikuti apa yang mereka katakan di media entah itu soal definisi kecantikan, gaya hidup atau apalah.
Misalkan, majalah remaja mempersepsikan kalo cewe yang asik adalah cewe yang begini dan begitu di artikelnya yang kadang tidak ada kaitannya dengan upaya "memajukan" fikiran remaja untuk berfikir lebih mandiri kreatif atau apalah, tapi kadang malah disodorkan berbagai artikel trip/trik yang kurang penting, seperti masalah fans ke artis, bagaimana merawat tubuh dll. kayaknya "agak jarang" mengarahkan remaja untuk berfikir maju, kreatif inovatif.
Atau majalah untuk pria yang menjejali halaman-halamannya dengan wanita yang cantik, seksi, berkulit putih mulis, hidung mancung, berdada besar, dan mungkin bertampang indo sebagai wanita yang cantik. Alhasil mungkin gue yakin sebagian pria-pria termasuk juga wanita-wanita secara tidak langsung akan membuat definisi baru tentang kecantikan seperti yang sering ditampilkan di medianya.
Hal seperti ini tentu saja jika berlangsung terus menerus secara tidak disadari akan merubah tuntutan seseorang terhadap standar yang ada. Dalam hal ini adalah standar kecantikan. Coba saja jaman dulu, jaman nenek-nenek atau orang tua kita hidup waktu muda, rasanya definisi kulit putih, hidung mancung tidak dipersoalkan sebagai standar kecantikan yang mutlak. Tapi saat ini karena semua media menjejali dengan berbagai wajah wanita-wanita yang cantik seperti gue sebutkan diatas, maka gak heran alam bawah sadar kebanyakan dari kita akan mempersepsikan bahwa kecantikan adalah berkulit putih (Lihat iklan pemutih yang semakin menggila, padahal orang eropa malah ingin menggelapkan kulitnya). Cara-cara media seperti ini yang gue anggap "gak bertanggung jawab" karena jujur aja sebagian besar kulit orang indonesia itu memang udah dari sononya sawo matang, cuma karena kekuatan media akhirnya sebagian orang yang berkulit sawo matang dipaksa untuk menerima kenyataan baru bahwa cantik itu berkulit putih, atau untuk kasus Anis yang menjadi korban silikon mungkin memiliki definisi kecantikan itu memiliki payudara yang besar. Kasian orang-orang ini harus menerima standar baru kecantikan karena dikte dari media-media yang di kuasai oleh segelintir kaum dan mempengeruhi sebagian besar masyarakat luas.
Sudah saatnya cara-cara seperti ini dihentikan, persepsi yang dipaksakan oleh media dan industri yang terkait jelas hanya akan menguntungkan media dan industri yang terkait itu seperti industri kosmetik, pemutih kulit, doktor bedah kecantikan, industri obat (singset langsing badang?) dan sebagainya mungkin juga termasuk fashion, lifestyle, dll.
Gue agak sedikit merenung dengan apa yang di ucapkan dengan temen gue di bandung. Temen gue bilang, "vi kalo di bandung tuh ibaratnya gaya adalah segalanya, kalo ada anak sekolah punya duit sepuluh ribu sedang kelaparan, dia bakal lebih suka beli gesper yang bikin gaya ketimbang beliin makan yang ngenyangin dia" Kalo memang itu benar terjadi, ironis menurut gue.... gaya itu boleh aja tapi kalo kita ini udah maju, kita jangan ngikutin gaya atau life-style dari negara asing yang udah maju, kita harusnya meniru etos kerja mereka yang mau bekerja keras... jangan mau gayanya tapi kerjanya gak becus... akhirnya liat sendiri deh tuh pejabat-pejabat yang banyak gaya mobilnya mobil mewah kerjaaan gak beres (ex: TKI, Haji, dll), Korupsinya gila-gilaan lagi. Itulah yang gue sesalkan... gaya hidup sebagian orang indonesia itu melebihi kemampuan sebenarnya.
Coba liat kembali beberapa waktu yang lalu saat acara kontes reality show merajai media. Media lebih banyak menggembar gemborkan idola-idola instan ketimbang menampilkan sosok remaja yang sukses menjuarai olimpiade fisika. Ironis :( negara yang membutuhkan banyak orang pandai di kalah kan oleh artis-artis itu. Gue bukan anti artis, tapi kita harus jujur pada diri sendiri, kita ini negara tertinggal, yang kita butuhkan untuk mengejar ketertinggalan itu adalah orang-orang yang pandai. Artis tetap dibutuhkan untuk menghibur tapi tetap lebih banyak dibutuhkan orang-orang pandai untuk segera memakmurkan negeri ini. Ironis memang orang-orang pandai tidak mendapat tempat di Indonesia, akhirnya beruntunglah negara-negara lain yang memanfaatkan kepandaian putra-putri Indonesia untuk bekerja pada mereka yang andaikan saja mereka bekerja untuk Indonesia hasilnya bisa dirasakan oleh kita juga. Ironis ya memang ironis....
Untuk media hentikanlah tayangan atau berita yang lebih menjurus ke konsumerisme dan hedonisme, bantulah mendidik masyarakat untuk menyadari pentingnya mengejar ketertinggalan bangsa ini dari bangsa lain.
Janganlah menggembar-gemborkan kemewahan dan hedonisme kepada masyarakat kita yang memamang pada dasarnya belum mampu mengikuti gaya hidup seperti itu. Lebih baik mengajak pembacanya untuk mengarahkan pembaca/penontonnya membantu saudara-saudaranya yang banyak sekali kurang beruntung. Tapi itu sepertinya mustahil, karena bagaimanapun jika mengandalkan dari harga jual majalah tanpa iklan (yang menggiring ke konsumerisme) tentunya dapat membahayakan neraca keuangan dari media itu sendiri... ya bisa dibilang pada akhirnya ini seperti lingkaran setan yang tidak ada putusnya...
Akhir kata gue cuma bisa berdoa, dan berusaha setidaknya untuk memulainya dari gue sendiri... karena gak enak juga nih kalo gue nuntut tapi gue sebenernya harus dituntut berubah.... semoga kita semua bisa berubah ke arah yang lebih baik.
Just don't let someone create you, because they might just destroy you.