Perempuan Tidak Butuh Lelaki
Aku mempunyai teman seorang perempuan yang sangat mandiri. Saking mandirinya, dia pernah mengatakan kepadaku bahwa dia (hampir) tidak membutuhkan laki-laki dalam kehidupannya. Kalaupun membutuhkan, palingan laki-laki itu hanya sekedar obyek pelepasan kebutuhan seksual, itu katanya. Jujur, sesaat aku sempat tercengang mendengar komentar spontan yang keluar dari mulut temanku itu. Bukan tentang gaya hidup bebas seksualnya melainkan pandangan hidupnya mengenai arti seorang laki-laki dalam hidupnya sebagai seorang wanita.
Kemudian, spontan pula aku tanyakan kepadanya sebentuk pertanyaan sederhana yang secara spontan pula akan terlintas di kepala setiap orang yang mendengar komentar seperti yang dilontarkan temanku itu.
"Hanya sebatas itukah arti seorang laki-laki bagimu? Tidak-kah sebagai seorang perempuan normal dan juga sebagai seorang manusia, ada kebutuhan dan keinginan untuk dicintai dan mencintai seseorang yang akhirnya akan mengajak kita untuk membentuk suatu keluarga dan mempunyai anak?"
Mendengar pertanyaanku, temanku hanya tertawa lepas dan aku pun hanya terdiam menunggu komentar darinya setelah dia puas tertawa. AKhirnya setelah dia puas mentertawakan komentarku itu, temanku pun berkata,"Alvi...Alvi....begitu naif ya diri kamu ini dengan berpikiran bahwa cinta hanya bisa didapat dan anak hanya bisa dibentuk dengan adanya seorang laki-kali?"...dan temanku itupun lanjut tertawa lagi.
"Bukankah begitu?? Bayanganku suatu bentuk keluarga yang ideal adalah adanya sepasang orang tua (ibu dan bapak) dan beberapa anak-anak yang menjadi buah hati mereka. Dan untuk menjadi sepasang orangtua, seorang wanita dan seorang laki-laki (idealnya) haruslah jatuh cinta untuk kemudian memutuskan mengikat dan melabuhkan cinta mereka kedalam suatu perkawinan."
"Ha..ha... Alvi...Alvi..makanya kamu jangan terlalu banyak membaca novel...jadi pikiran kamu itu ga pernah lepas dari konsep cinta dan konsep bentuk keideal-idealan kehidupan ala buku-buku filosofi yang kamu baca itu. Ini jamannya dimana kita bisa meraih segala macam yang kita inginkan dengan bantuan tekhnologi yang berkembang pesat. Tak munafik, aku memang menginginkan kehadiran seorang anak dalam kehidupanku ini tetapi itupun tidak harus dengan menyertakan adanya kehadiran sang bapak-nya anak-anak dalam kehidupanku juga alias aku bisa punya anak tanpa harus menikah dengan seorang laki-laki kan? Ada bank sperma dan ada panti asuhan anak-anak untuk membantu mewujudkan cita-citaku untuk berkeluarga minus laki-laki, tentunya. Diriku yang akan menjalankan maka resiko pun aku tanggung sendiri. Yang penting tidak menyusahkan orang lain. Gampang dan hanya sesederhana itu kan?"
Komentar temanku tersebut membawaku sampai pada keputusan untuk tidak lebih lanjut mendebat dirinya, walaupun maseh terdapat ketidaksetujuan pada diriku ini atas salah satu pandangan dan prinsip hidup yang dianutnya itu. Tetapi di lain pihak, aku pun harus menghormati pandangannya itu karena setiap orang bebas merdeka mempunyai pandangan dan memegang prinsip hidup masing-masing. Kita boleh mengatakan ataupun berpikiran untuk setuju atau tidaknya tetapi tidak berhak satu orangpun untuk menilai benar atau tidaknya prinsip dan pandangan hidup seseorang yang lain.
Seperti kali ini. Aku memutuskan untuk menyimpan sendiri dalam hati dan pikiranku suatu bentuk ketidaksetujuanku atas prinsip dan pandangan hidup yang dimiliki oleh temanku itu atas arti seorang laki-laki dalam hidup. Aku berpikir, dalam kata lain temanku itu hendak menyampaikan bahwa seorang perempuan berkuasa penuh atas diri mereka sendiri, termasuk keputusan untuk memiliki anak dengan tidak menikah pun menjadi keputusan mutlak seorang perempuan. Terlebih hanya pada diri seorang perempuan lah terdapat kemampuan ajaib dari Tuhan untuk menghasilkan suatu kehidupan. Walaupun seorang laki-laki dengan sperma mereka juga dibutuhkan dalam proses pembentukan kehidupan itu, tetapi tidaklah cukup berarti, karena batas kontribusi yang seorang laki-laki mampu berikan hanyalah sebatas itu, sedangkan proses lebih lanjut dari pembentukan suatu kehidupan adalah di diri seorang perempuan. Lalu, apakah kemampuan ajaib untuk menghasilkan kehidupan dapat melegitimasi seorang perempuan untuk merasa lebih diatas pria? Apakah Tuhan menciptakan keistimewaan ini untuk membuat seorang perempuan menjadi lebih tinggi hati?
Seseorang yang mempunyai kemampuan untuk berpikir diluar kotak (out of the box) untuk melakukan sesuatu diluar pakem kenormalan, harusnya juga ikut memikirkan dampak dari hasil pikirannya tersebut. Aku hanya membayangkan, pernahkah temanku itu menyadari kalau bukan hanya akal dan pikiran saja yang menjadi salah satu kelebihan yang diberikan oleh Tuhan kepada kita sebagai umat manusia, makhluk hidup yang paling tinggi derajatnya dibandingkan makhluk hidup lainnya.
Hanya kepada manusia, Tuhan memberikan bentuk wajah yang berbeda-beda. Tidak seperti hewan dan tumbuhan dimana anak-anaknya berwajah dan berpenampilan serupa, anak-anak manusia mempunyai wajah dan bentuk fisik berbeda satu sama lain (kecuali kembar identik). Tentunya Tuhan mempunyai alasan dibalik keputusan-Nya ini. Pada seraut bentuk wajah seseorang, maka Tuhanpun ikut menggoreskan sejarah kehidupan seseorang itu, termasuk orang-orang lain yang ikut berkontribusi dalam pembentukan kehidupannya. Sejarah yang akan menentukan identitas seseorang manusia. Seraut wajah yang akan mungkin akan menyebabkan seorang anak menjadi gelisah bertanya-tanya mengenai ketidakmiripannya dengan sang ibu. Seraut wajah yang akan selalu membawa sang anak membayangkan seraut wajah lain yang mirip dengannya. Seraut wajah yang lebih lanjut akan membawa sang anak selalu gelisah mempertanyakan keputusan sang Ibu tentang jalan hidupnya. Kalau sudah begini, apakah seorang perempuan dapat menyelesaikan dengan sendirian???