Kalau kata-kata tidak bisa lagi menyehatkan pikiran yang keblinger, mungkin senjata bisa melakukannya (soekarno)


Memang secara teoritis, revolusi tidak akan sukses tanpa dukungan militer. Tetapi jangan lupa, bahwa militer pun bukan apa-apa tanpa rakyat. Seperti halnya bung Karno yang amat percaya pada kekuatan massa, kekuatan rakyat.

“Aku ini bukan apa-apa kalau tanpa rakyat. Aku besar karena rakyat, aku berjuang karena rakyat dan aku penyambung lidah rakyat,” kata Bung Karno, dalam karyanya ‘Menggali Api Pancasila’.

Cita-cita kemerdekaan untuk mengantar bangsa ini ke gerbang masyarakat adil, makmur, sejahtera dan sentosa, tampaknya hanya impian belaka. Kecuali bila bangsa ini segera terjaga dari lamunan, dan kemudian membangun gerakan moral kebangsaan bersama serta mendorong terjadinya momentum revolusi sosial; mengubah poros kebangsaan agar kembali pada jiwa atau semangat revolusi 1945, masyarakat menyudahi gaya hidup borjuasi kapitalis, dan para pejabat serta tokoh publik di negara ini sadar dan malu akan tingkah-laku mereka yang memuakkan dan menyusahkan masyarakat seperti gaji presiden yang dibahas untuk dinaikkan, tunjangan anggota DPR yang kian mengada-ada, kegaduhan silang sengketa antara lembaga negara (kejaksaan-kepolisian-kpk), korupsi merebak masif tak terkontrol, dan berbagai pertikaian sosial lainnya yang terus mewarnai kehidupan sosial kita.

Singkatnya, biang kerok dari semua masalah sosial diatas adalah adalah sikap saling tidak percaya, sikap mengedepankan norma individualime dan materialisme. Sungguh, penyakit sosial ini hanya muncul pada kondisi masyarakat yang telah dirasuki virus kapitalisme.

Pertanyaan selanjutnya (apabila tanpa dukungan militer), haruskan revolusi sosial (berdarah) terjadi lagi menimpa masyarakat Indonesia, anak-anak bangsa yang lahir di Indonesia dan dibesarkan oleh semangat kebangsaan Indonesia? ?

Tentunya kita, anak-anak bangsa ini tidak menginginkan semua itu terjadi. Namun, apabila:

(1) Karut-marut mental, spiritual, hukum, demokrasi, kedaulatan negara, dll ini dibiarkan berlarut-larut. Para elit politik lebih asyik memainkan logika angka-angka (termasuk polling) dan memperkuat ketahanan kekuasaannya sembari berdalih mempertahankan dan berlindung dibalik konstitusi dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan.
(2) Perseteruan para elit politik yang terus menuju titik nadir, khususnya kaloborasi antara barisan sakit hati, kaum idelisme, dengan jajaran elit politik dalam lingkaran kekuasaan pemerintah. Perseteruan tersebut akan menyeret semuanya dalam perlombaan “Rebut-Simpati Rakyat”.
(3) Terjadi kerusuhan sosial sebagai akibat dari kesenjangan ekonomi yang terlalu mendalam yang diperparah dengan kondisi kemiskinan yang menghampiri mayoritas anak-anak bangsa ini.
(4) Kepaduan masyarakat dengan elemen penentang rezim, yang akan melahirkan sebuah letupan supernova.
(5) Dukungan dari pihak luar. Keberadannya hanya merupakan sebuah stimulus bagi pejuang oposisi agar tetap bersemangat dalam berjuang. Pihak luar bisa saja berasal dari LSM internasional, lembaga keuangan atau negara asing.



Andaikata kelima aspek tersebut terjadi, maka revolusi sosial yang mengakibatkan kejatuhan sebuah rezim bukan hal yang mustahil untuk terjadi. Sebagaimana pengalaman sejarah sebelum-sebelumnya, kesulitan ekonomi rakyat akan terjadi, dan masyarakat akan menjumpai lagi sebuah masa yang kelam seperti halnya tahun 1966 dan tahun 1998.

Apabila akhirnya harus berakhir seperti itu,anggaplah fenomena ini merupakan harga yang harus ditebus demi sebuah perubahan. Bukan demi kita, tapi demi generasi masa depan bangsa Indonesia! Biarlah kita mati berdarah-darah dan mati diterjang peluru asalkan generasi masa depan bangsa Indonesia ini tidak mati kelaparan!

Seperti yang diriku kutip dalam Puisi ciptaan Reporter Nyamuk yang berjudul "Revolusi Rakyat Kami"

Wahai sang penguasa…

Teruslah injak-injak kami…..

Teruslah kau tindas kami....

Dan teruslah kau ludahi muka kami…

Muka yang selalu tampak lusuh.....

Oleh karena debu, keringat bercampur air mata …

Teruslah cekik leher kami yang sudah bernafas satu-satu ini…

Teruslah ‘kerangkeng dan bungkam’ jiwa kritis kami….

Teruslah 'kangkangi' kedaulatan kami...

Teruslah bohongi kami dengan ‘mulut setanmu’ itu…

Buatlah kami muak dengan tontonan yang ‘menjijikkan’ itu…

Yakni Lawakan ‘Korupsi’ dan Sandiwara ‘Politik dagang sapi’….

Tunggu pembalasan dari Rakyat yang selalu Tertindas!!!

Wahai rakyat negeri ini.....

Angkat tangan kiri kalian....

Sebagai lambang dari sebuah PERJUANGAN!!!

Sebagai tanda dari sebuah PEMBERONTAKAN!!!

Sebagai wujud dari suatu PEMBELAAN!!!

Bangkitlah Rakyatku dengan PERGERAKAN!!!

Ajarilah penguasamu dengan PERLAWANAN!!!

Dalam skenario “RAKYAT YANG KUASA”

Dalam Episode “REVOLUSI RAKYAT KAMI”.

Semoga Tuhan akan merestui...

Hentinya tangisan perih anak negeri ini!!!


Kalau kata-kata tidak bisa lagi menyehatkan pikiran yang keblinger, mungkin senjata bisa melakukannya
(soekarno)


“Hari depan revolusi Indonesia bukanlah menuju ke kapitalisme, dan sama sekali bukan menuju ke feudalisme… Hari depan Revolusi Indonesia adalah masyarakat adil dan makmur atau… Sosialisme Indonesia” -

(Soekarno – Manifesto Politik RI)