Tampilkan postingan dengan label Single parent. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Single parent. Tampilkan semua postingan

Cara-nya Vie Hidup Sebagai Orangtua Tunggal


Pie, bagi-bagi dunk rahasia-nya 'betah' menjadi orangtua tunggal lebih selama lebih dari 7 tahun ini. Kalimat ini sering banget mampir di fesbuk maupun di blog-nya vie. Dan sebenarnya gw rada gimana gitu ketika diminta memberikan tips-tips sebagai singleparent. Bukannya pelit atau bagaimana, tetapi seringkali diri ini diliputi kekhawatiran yang amat sangat kalau-kalau tips-tips gw malah membuat kualitas hidup teman-teman menjadi tidak lebih baik, atau malah teman-teman tidak menjadi diri sendiri. Karena sampai saat ini gw masih meyakini bahwa hanya diri kita sendirilah yang mengetahu apa yang cocok, apa yang terbaik bagi diri kita. Bukan orang lain, meskipun itu anak-anak kita sendiri, dan walaupun itu psikolog ataupun psikiater terkenal sekalipun.

Namun, seorang teman pula kemudian meyakinkan diriku bahwa kekhawatiran aku sungguh sangat tidak beralasan dan sekalian meremehkan kemampuan teman-teman untu meresapi dan memilah informasi yang terbaik untuk diri mereka sendiri. Well, sounds masuk akal juga dan akhirnya Bismillahirohmanirahim dibawah ini beberapa hikmah yang didapat diri gw selama menjadi hidup sebagai single parent, dan mudah2an bermanfaat bagi teman-teman yang kebetulan membutuhkan ya...amin:)


1 - Berusaha untuk memaafkan walaupun terkesan tidak mungkin akan tetapi jangan memaksakan diri untuk melupakan

Ini pasti berhubungan dengan sang mantan kita, mantan suami maksudnya:) Bukan munafik, kalo kita pasti ngerasa marah, kesel, geram, sedih, dendam ma mantan pasangan...bukan mustahil perasaan-perasaan seperti ini masih kita rasakan walaupun saat pertama kali palu itu diketukkan telah berlalu sekian tahun lamanya. Malah kok kayaknya makin lama waktu berlalu, rasa marah cs ini kok makin kuat mencengkram hati dan pikiran kita ya?

Waduh....ayo cepat kita singkirkan rasa-rasa negatif ini. Widihhhh Pie sok tau deh, ngomong mah emang enak, ngejalaninnya susah taukkk!
Weeitsss....jangan salah, gw tau kok kalo ngomonginnya emang gampang dan sebaliknya sangat susah ngejalaninnya, tapi kan bukan tidak mungkin. Malah sangat mungkin sekali. I had been there, remember:).. Kata kuncinya untuk memaafkan adalah ikhlas dan sadar diri.

Ikhlas tentunya tidak sulit untuk dilakukan ketika diri kita yang pertama kali menginginkan perceraian ini. Terlebih dahulu menginginkan perpisahan dan perceraian tentu sebelumnya diri kita telah terlebih dahulu menimbang resiko-resikonya, bahkan resiko terburuk sekalipun, dan otomatis tentu menakar kemampuan kita untuk menerima dan menjalani kehidupan sebagai orangtua tunggal, termasuk kemampuan menghidupi diri sendiri dan anak2 apabila kemungkinan sang mantan tidak memberikan nafkah. Makanya, jujur, sangat tidak masuk akal bagi gw apabila melihat seorang janda yang masih trauma dan frustasi berkepanjangan, apalagi jika sang janda tersebut yang pertama kali menginginkan perceraian.

Keadaan mungkin akan sedikit lain bagi seseorang wanita yang dirinya dicerai oleh suaminya. Mungkin dirinya akan sangat sulit untuk menerima perceraian ini, karena bukan dirinya lah yang menginginkan. Diceraikan juga kadang menghasilkan suatu perasaan seperti dilecehkan, tidak dibutuhkan lagi, dibuang. Apalagi kalo ternyata sang wanita ini masih merasakan cinta untuk sang suami dan masih berharap perkawinannya terselamatkan. Sehingga ketika perceraian terjadi, mungkin sekali perasaan marah, sakit hati akan sangat susah untuk disingkirkan. Lalu bagaimana bisa ikhlas menerima kenyataan? Bisa dong, dengan menyadari bahwa perceraian ini terjadi bagaimanapun bukanlah hanya kehendak seseorang saja dalam suatu perkawinan. Meskipun suami kita yang pertama kali secara konkrit menginginkan perpisahan, secara tidak langsung, mungkin dibawah alam sadar, diri kita pun berkontribusi memberikan signal yang ditangkap suami bahwa diri kita pun menginginkan hal yang serupa.

wah...gila lo Vie, masak gw memberikan signal memberikan ijin pada suami gw untuk berselingkuh? Dengan selalu curiga, mendominasi, cemburu, berat sebelah, bukannya itu perilaku yang akhirnya suami berpikir ternyata memang benar kalau rumput tetangga memang lebih hijau daripada tanah gersang di rumahku.

Nah, kalau sudah menyadari bahwa diri kita pun turut berkontribusi terhadap perceraian yang terjadi, maka diri kita pun akan dapat memaafkan diri kita sendiri, kemudian memaafkan dia walaupun tentu kita tidak dapat menuntut hal serupa akan dilakukan olehnya. karena dia pribadi yang lain, diluar diri kita yang tidak dapat kita kendalikan.

Begitupun dengan halnya melupakan. Apa yang membuat manusia menjadi makhluk yang paling sempurna? Salah satunya adalah kemampuan untuk menyimpan kenangan. Lalu mengapa juga kita harus membuang kenangan2 buruk kalo kenangan2 menyedihkan itu ternyata akan malah bisa membantu diri kita menjadi lebih kuat dan lebih baik dalam menjalani sisa hidup ini?



2 - Be the best parent as we can possibly be by making the most of everything we have

Ketakutan terbesar menjadi janda dengan anak-anak adalah tidak bisa memberikan yang terbaik buat anak-anak. Padahal hal itu tidaklah perlu dikhawatirkan. Don’t beat ourselves up for what cannot be. Do recognize what we can do to create a good life for our child to the best of our abilities. Give as much as we can without setting goals that are unrealistic for one parent to achieve.

Meskipun kita tidak mempunyai banyak uang seperti sang mantan, akan tetapi kita mempunyai sangat banyak cinta dan kasih sayang untuk anak-anak kita. Cinta dan kasih sayang adalah hal-hal yang tidak dapat dibeli oleh berapapun banyaknya uang yang ada di dunia ini.


3 - Rengkuhlah kehangatan cinta, perhatian dan kasih sayang keluarga dan teman-teman

Keluarga seharusnya tidaklah selalu harus berarti biologis semata. Teman-teman yang tulus perhatian dan peduli ma kita juga adalah keluarga kita, walaupun tanpa ada hubungan darah. Surround ourselves and children with family and friends we know and trust - people who care about both of us. “Aunts” and “Uncles” and even “Grandparents,” who are not blood-related can be just as beneficial to our child as actual biological family members. The “family” we create for our children can provide him or her with the same kind of love and support as a traditional family. They can also help us with our responsibilities as a single parent. Let them play an active role in our child’s life. Learn to turn to our “family” when you need a break. Nobody should have to go it alone and we will probably be able to be a better parent by relying on our “family” of close friends to support us our children.

Thats why the family and friends are what for, aren't they?:)


4 - Bertanggungjawab kepada diri sendiri dan masyarakat

Buktikan kepada masyarakat bahwa kita adalah singleparent yang bertanggungjawab, bahwa kita adalah seorang single parent yang positif, tidak takut untuk bekerja dan hidup mandiri, mampu membesarkan anak2 secara baik dan yang penting kita harus bisa menunjukkan kalo kita bahagia dan tidak menyesali takdir menjadi seorang single parent. Keputusan menjadi orang tua tunggal adalah keputusan yang dirasakan perlu untuk dilakukan demi menyelamatkan pertumbuhan dan perkembangan anak2 secara lahir maupun mental/emosi untuk dapat tumbuh kembaang dengan baik dan normal, ketimbang tumbuh kembang di lingkungan keluarga utuh yang tidak sehat misalkan dengan seorang ayah/ibu yang pemarah/ main tangan/otoriter, atau dengan seorang ayah/ibu yang gemar selingkuh/poligami/poliandri.

Just Go flow with our lives dan tetep berjuang demi kebahagiaan kita dan anak2 di masa kini dan masa2 mendatang.


5 - Bertanggungjawab kepada anak-anak

Remember whatever lead us to where we are today, we are responsible for another life - the innocent life of our children, who didn’t ask to be born. Anak-anak kita tidaklah menjadi pihak yang bertanggung jawab akan terjadinya perceraian, sehingga apapun dampaknya perceraian yang akan berakibat pada anak-anak, maka tugas kita lah sebagai orang dewasa yang bertanggungjawab untuk meminimalisir dampak tersebut. Sikap dan tindakan kita selanjutnya paska perceraian dengan tetap optimis, ikhlas, ceria, bahagia, produktif akan menjadi panutan bagi diri anak-anak kita dalam menemani langkah-langkah mereka menapaki masa-masa kedewasaan diri mereka. Berikan rasa kenyamanan dan keamanan dan pastikan bahwa tidak ada hal serius yang perlu dikhawatirkan walaupun mungkin akan terjadi sedikit perubahan dalam keluarga setelah perceraian. Dan yang paling utama, pastikan bahwa anak-anak tidak akan kekurangan kasih sayang dari kedua orangtuanya, dari ayah dan ibu kandungnya, dimanapun mereka berada dan itu berlaku untuk selama-lamanya.


6. - Berdoa mudah-mudahan Tuhan selalu bersama meringankan langkah kita dan anak-anak:)

Definisi Mendalam Tentang Janda Dengan Anak



Apa sih definisi dari seorang janda dengan anak? Apakah dia seorang wanita dengan banyak kekuatan dan cinta atau rasa sakit dan ketakutan? Mungkin dia adalah setan yang menyamar atau mungkin malaikat dengan penuh penderitaan?

Bisakah dia menjadi seorang wanita yang tetap bijksana dan penuh kasih?

Satu hal yang pasti, tidak ada seorang pun dapat mengerti dengan tepat tentang seorang janda dengan anak, kecuali jika mereka mengalaminya sendiri. Seorang janda dengan anak adalah seorang wanita yang penuh dengan cinta tanpa syarat, dan sederet pengalaman penuh hikmah kebijakan yang memandu memberikannya cara untuk menjalani hidup.

Seorang janda dengan anak tidak memikirkan apakah dirinya akan menerima penghargaan dari sekian banyak yang telah dia lakukan dalam hidupnya, mengabdikan dirinya untuk bekerja keras melewati waktu yang berjam-jam panjangnya, selalu dipenuhi kesibukan untuk mengurus apa yang dimilikinya, memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya...permata hatinya. Walaupun kadang dia merasa seolah-olah tekanan hidup ini begitu besar disaat tagihan masih saja menumpuk tak peduli seberapa banyak dan seberapa keras dia telah bekerja. Hanya cinta dan tanggung jawab kepada buah hatinya lah yang merupakan satu-satunya hal di kehidupan ini yang membuatnya bertahan dan kembali mengangkat kepala sambil tak lupa untuk tersenyum.

Orang-orang yang berpikiran sempit dan picik selalu menganggap remeh dirinya dengan seringkali dia mendengar, "Berani-beraninya dia membesarkan anak-anak sendirian tanpa suami!" Mereka tidak memahami konsep bahwa kehidupan tidak selalu sesuai dengan apa yang direncanakan. Kita tidak selalu mendapatkan apa yang kita inginkan. Juga bahwa kehidupan tidak selalu berjalan seperti apa yang dilihat seperti saat ini. Kehidupan mungkin akan berubah. Kehidupan ini bukanlah siksaan, bukanlah penderitaan. Kehidupan ini adalah pilihan yang telah dia putuskan dengan segenap jiwa dan pikiran. Orang-orang hanya peduli dengan apa yang dilihat oleh mata mereka...apa yang mereka lihat di permukaan. Apakah mereka sudi untuk mengenal lebih dalam tentang perempuan sang ibu tunggal ini? Apakah mereka tahu perempuan sang ibu tunggal ini tidur dalam kelaparan demi memastikan anak-anaknya cukup makan? Apakah mereka mau peduli perempuan sang ibu tunggal ini terpaksa melacurkan dirinya demi bisa membayar uang sekolah anak-anaknya? Apakah mereka mengerti perempuan sang ibu tunggal ini hanyalah seorang ibu yang sama dengan banyak ibu lainnya di luar sana, yang rela mengorbankan nyawanya ketika melihat penderitaan anaknya dikala sakit?

Aku, seorang janda dengan dua orang anak selama hampir 7 tahun, masa-masa yang bisa dibilang tidak mudah untuk dilewati. Aku pernah mendengar anakku yang sulung berkata kepada adiknya,"Kita harus cepat besar Dek supaya bisa membantu Mami...karena kita kan tidak punya papa yang bisa membantu Mami seperti anak-anak lain."

Hidup mengajariku bagaimana untuk mengabaikan rasa takut, seperti halnya hidup juga menenangkanku ketika adakalanya diriku menangis dan hidup juga seperti berkata kepadaku bahwa perjalanan ini masih berjalan dan akan terus berjalan. Hidup bagaikan seorang guru yang memberikanku pelajaran dengan mengatakan,"Kamu harus menerima dengan ikhlas apa yang tidak kamu sukai, ampunilah diri kamu sendiri dan orang-orang juga segala hal yang tidak kamu sukai dan terus berjalan dengan ikhlas,lapang dada, dan tetap semangat."

Ada yang bilang seorang ibu adalah orang yang menenangkan jiwa dan penyembuhan hati. Akan tetapi definisi seorang ibu yang aku dapat dari anak-anaku adalah "seorang wanita cantik yang pintar tapi juga bawel yang sangat sayang sama bang Dali dan dek Zahra walaupun lebih sering di kantor:)"

Setelah Lebih Dari 6 Tahun Bercerai...



Seharian minggu hanya aku habiskan di rumah saja bersama anak2. Selain alasan kurang sehat, aku memang sedang tidak ingin keluar rumah. So, berkumpullah aku dan anak2 di kamar tidur kami. Aku duduk di atas tempat tidur dengan novel Man and Boy, Five People U Meet in Heaven, Memoir The Glass Walls, Cosmopolitan dan Asia Travel Magazines.

Dan tak jauh di depanku, Dali dan Zahra duduk diatas karpet. Dali sibuk membolak balik buku Dinosaur Map and History, sedangkan Zahra sibuk mengisi buku kumpulan soal matematika u/ kelas 2 sekolah dasar.

Mungkin karena aku dan anak2 sangat larut dalam kegiatan kami masing2, suasana terasa hening.

Tetapi tak lama kemudian keheningan itu terpecahkan oleh suara Dali yg bertanya kepadaku.

"Mami, kok Dali lihat sekarang Mami ga pernah jalan sama teman-teman Mami lagi?"
"Emangnya kenapa Dali?"
"Mami lagi ga punya pacar ya?"
"Yup."
"Cari pacar dong Mami."
"Tumben nyaranin mami gitu, kenapa kok tiba2 begitu?"
"Supaya mami cepat menikah, jadi kalo nanti Dali dan dek Zahra udah pada kerja, Mami kan udah tua tuh...kalo mami menikah kan ada yg nemenin, enggak sendirian kayak Eyang (mamaku-red). Pasti eyang kesepian deh ditinggal Atok (alm papaku-red) ke Surga."
"Iya mami, dek Zahra setuju sama bang Dali tapi papa baru mesti bikinin kamar sendiri buat Zahra."

Hm..Aku bingung, kagum, cemas, sekaligus takjub mengetahui kedua anakku telah berpikir ttg masa depan ibunya.Tidak hanya berpikir, mereka sekaligus juga mengkhawatirkan kemungkinan terburuk yaitu aku yg semakin beranjak tua nanti akan sendirian kesepian tanpa teman di rumah apabila mereka telah dewasa nanti yang harus bekerja sehingga akan lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah.
Dan mereka jg menyimpulkan jalan penyelesaiannya adalah mami harus mencari pacar, eh salah, calon suami yg bersedia untuk menikahiku dan juga bersedia untuk menemaniku sampai akhir hidup. Ha...ha...pemikiran anak2ku yg maseh berumur 8 dan 7 tahun itu sangat analitis, terstruktur tapi praktis:)

Analytical dan terstruktur krn rupanya mereka, terutama Dali aware kl udah lama maminya tidak pernah jalan dengan teman2nya, terutama malam minggu dan minggu malam, kata Dali, ak pasti di rumah. Itu berarti mami ga punya pacar he..he...
Dan hasil analisa mereka selanjutnya kl ga punya pacar terus, kemungkinan ga menikah yg kemungkinan selanjutnya mami akan sendirian ga ada temannya di hari tua.

Practical ya karena anak2ku berpikir praktis mengenai pemecahannya yaitu cari calon suami dan menikah.

Pikiranku yg sedang mengembara mencerna perkataan Dali, dikejutkan lagi oleh kalimat yg diucapkan (kali ini) oleh Zahra kepada abangnya.

"Bang Dali, tapi kalo nanti papa mo ketemu kita, gimana ayo? Kita dan mami kan pasti ikut papa baru, rumahnya pindah kan?"

Dengan santainya Dali menjawab,"Gampang dek, Papa kan bs ikut acara "Termehek-mehek", ha...ha...ha..



Tak terasa, perceraianku telah memasuki masa lebih dari 6 tahun, dan 3 tahun pertama setelah perceraian diriku sama sekali tidak berniat untuk menjalin hub dengan seseorang lagi karena sibuk untuk menata kembali kehidupan, menyesuaikan diri lagi dengan lingkungan yang baru walopun benernya seh aku malah kembali ke lingkungan awal, kembali ke Jakarta. Tapi setidaknya aku telah tinggal di Medan kurang lebih 4 taun lamanya, udah bisa menyesuaikan diri disana, malah bisa dibilang udah terbiasa dengan kehidupan disana. Dan saat itu yang terpenting mencari pekerjaan, secara waktu menikah dulu mantan suami menghendaki istrinya menjadi ibu rumah tangga sejati.
Nah, jadi 3 tahun pertama perceraian itu bener-bener aku konsen banget untuk menata diri dan kehidupan lagi..terus terang meskipun kembali di Jakarta lagi, 2-3 bulan pertama aku sempet asing dengan Jakarta, mana diriku ga update nomer telepon temen2 (waktu menikah aku emang loss contact banget, secara tahun 2000-2004 kan belum jamannya FACEBOOK maupun FRIENDSTER he..he..)..

So, kayaknya emang mulai dari awal lagi deh....nyari perlengkapan untuk Dali dan Zahra( secara aku meninggalkan semua barang2 milik diriku dan anak2- sempet inget berantem ma Dali karena dia ngotot mau bawa mobil aki JEEP WRANGLER-nya yang gede banget itu-), terus nyari sekolahan untuk Dali (karena pas kita pisah gitu, dia lagi di tengah2 waktu sekolah, untungnya maseh playgroup), nyari nomer telepon temen2, nyari pekerjaan, nyari orang yang bantu untuk jaga anak2, dan banyak lagi deh, untung aja ga nyari rumah, karena mamaku dengan senang hati mempersilahkan diriku kembali ke rumahnya, malah melarang keras2 niat awal diriku yang tadinya hendak ngontrak rumah/tinggal sendiri.

Tiga tahun berjalan....baik aku dan kedua anakku sudah mulai terbiasa dengan kehidupan baru kami. Dari awal semenjak kembali ke Jakarta dan ditawari nyokap untuk tinggal kembali di rumahnya, aku katakan bersedia asal nyokap dan penghuni rumah yang lain berjanji untuk tidak melontarkan satu statement apapun yang menjelekkan nama dan image mantan suami ke anak2.Biar bagaimanapun pahitnya kejadian perceraian yang aku alami, di mata anak2 figur papanya harus bersih karena bagaimanapun mantan adalah papanya anak2 dan akan terus menjadi papanya anak2 selamanya.

Makin lama tahun berjalan, kayaknya seh makin males untuk punya suatu relationship. Mungkin aku salah, tapi yang aku rasakan kira2 spt ini,"sekarang aja hidup aku kayaknya udah penuh, udah pusing mikirin diri sendiri dan 2 anak yang maseh sangat butuh perhatian, terus sepertinya kalo masuk satu orang lg apakah dia akan dapat mengerti kalo diriku (mungkin) kurang dapat memperhatikan sebanyak yang dia minta?"...Walopun pada masa-masa itu aku banyak sekali teman pria, tapi bagiku mereka hanyalah teman-teman biasa, tidak lebih. Takaran definisi "'laki-laki" apakah sebagai teman biasa atau pacar untuk seorang Alvi adalah aku tidak akan mempertemukan ataupun memperkenalkan seseorang itu dengan anak2 maupun keluarga (tidak akan pernah mengajak dia masuk ke dalam rumah) kalo dia hanyalah sebagai teman biasa.



Sampai akhirnya ada satu orang yang dateng dalam kehidupanku. Seorang duda yang usianya bertaut kurang lebih 14 taun diatas usiaku (misal Mr X- red). Dari sikap perilakunya yang sopan, akhirnya orang ini dapat meyakinkan diriku untuk mencoba kembali menjalin suatu hubungan lagi, untuk berkomitmen lagi. Dan segalanya berjalan dengan lancar, kecuali satu yang menghambat, yaitu Mr X kurang dapat mingle dengan anak2. Mungkin emang karena sifat dia yang pendiam. Tapi bagiku, terlepas dari sifat seseorang apakah itu pendiam ataupun tidak, seseorang yang menyukai anak kecil (apalagi khususnya orang yang pernah mempunyai anak) akan terlihat. Dan awal2 bulan pertama berhubungan dengan Mr X, terlihat dia sering memperhatikan anak2, sering jalan ma anak2, tapi makin lama kesininya kok jarang ya? Padahal sering kali aku bilang ke dia kalo aku akan lebih bahagia jika sesekali kita membawa anak2 pergi jalan bersama2. Sekali2 loh, misalkan dalam satu bulan 4 kali ketemu, mungkin kita bisa luangkan 1 kali saja waktu bersama dengan anak2. Dia bilang iya, tapi tetep aja..sampe akhirnya ucapan Zahra menyadarkan aku pada suatu malam. Sehabis pulang dari makan malam, dan Mr X lagi mengantarkan gw ke dalam rumah, di pintu teras rumah Zahra udah berdiri disana. Sewaktu Zahra melihat gw masih berbicara di depan teras dengan Mr X, Zahra langsung berkata dengan ketus,"Om, ini kan udah malam. Ini waktunya Mami untuk Zahra. Zahra mau tidur ditepokin Mami. Om pulang deh, om kan punya rumah sendiri. Masak lama2 dirumah orang, emangnya mo nginep ?!"..
Hm...aku sangat terkejut sekali mendengarnya, langsung aku kasih isyarat Mr X untuk pulang. Dan kemudian apa yang bisa aku lakukan terhadap Zahra? Terhadap seorang anak kecil yang waktu itu berumur 4 tahun yang menunggu mamanya pulang untuk menepok2 pantatnya? Jawabannya adalah Tidak Ada, selain membawa Zahra kembali ke dalam kamar dan menepok pantatnya sampai tertidur.

Besok paginya, mamaku memanggil. Wah isyarat mau dinasehatin neh. Hm..benar saja kan!. Mamaku bercerita kalo Dali dan Zahra mengadu bahwa mereka akan tinggal bersama Eyangnya saja apabila Mami menikah dengan Mr X. Mereka emang tidak bilang mengapa dan mamaku pun cukup bijaksana untuk tidak memperpanjang masalah itu dengan anak2. Dan mamapun memberlakukan hal yang sama terhadapku, mama hanya menasihatiku untuk tidak hanya memakai perasaan, tetapi juga memakai logika dalam hal ini.
Akhirnya setelah melewati beberapa pemikiran dan pertimbangan, aku pikir sebaiknya ini emang ga diteruskan walopun sangat sedih juga ya karena untuk pertama kalinya setelah perceraian, akhirnya bisa jatuh cinta lagi tapi harus patah hati lagi he..he..tetapi rasa jatuh cinta dan rasa patah hatiku itu tidak sebanding dengan rasa sedih dan rasa bahagia ke-dua anakku. Sekali lagi, tidak ada yang namanya "Bekas Anak" maupun "Bekas Orang Tua". Dan akhirnya hubungan diriku dengan Mr X pun berakhirlah sudah.

Semenjak itu, memang aku sepertinya semakin menutup hati dan diri. Well, setidaknya itu yang aku denger dari beberapa temen. Pertanyaan selanjutnya benar atau tidak?..Well, mungkin benar karena aku memang lebih hati2 dalam memilih apalagi anak2 kini makin besar makin sensitif, makin ber-opini, makin kritis dan makin menyuarakan pendapatnya. Walopun mereka sudah memberikan lampu hijau kepadaku, itu tidak berarti mereka akan oke2 aja apabila orang dengan kualitas dan sikap yang sama seperti Mr X diatas datang kembali ke dalam kehidupan pribadiku.
Tapi dari sekian banyak orang," masak ga ada seh yang deket ma anak2 lo?"



Jawabannya ada..ada...tapi masalahnya aku ga ada "feeling" ma mereka...Kali ini, aku pengen menemukan seseorang yang bisa match tidak hanya denganku, tetapi juga ke anak2 dan begitu juga sebaliknya, aku ke dia dan juga aku ke anak2nya (apabila dia mempunyai anak2)...dan mencari yang seperti itu sangat susah, karena perasaan tidak bisa berbohong ...but i am willing to wait...walopun kata seorang temen, bahwa masa expired aku tinggal 2 taun lagi sebagai wanita untuk "laku" atau maseh menarik dilirik pria, ...ha..ha...

Aku tidak bisa begitu saja memindahkan hatiku ke pria lain setelah perkawinan aku berantakan karena diam-diam mantan suami menikah lagi. Mungkin wanita emang spt itu, beda dengan pria dimana bisa langsung menikah lagi hanya sesaat setelah perceraian disahkan atau malah menikah lagi padahal masih terikat dalam perkawinan. Memang, tidak semua pria dan tidak semua wanita spt itu, tapi setidaknya yg terjadi antara aku sebagai wanita dan mantan suami mewakili kaum pria..he..he...

Kebetulan, aku juga termasuk ke dalam tipe orang tua yang kurang menyukai sekian banyak orang asing yang seenaknya keluar masuk ke dalam kehidupan anak2 seolah anak2 hanya sekedar hobi yang dapat kita tekuni dan kemudian ditinggalkan sesuka hati.
Dan aku juga mungkin termasuk ke dalam orang yang romantis. Tetapi tidak sedemikian romantisnya sampai yang dapat terbuai dengan suasana dan janji kosong yang manis dan menyenangkan. Aku lebih menginginkan seseorang yang mengusap2 kakiku saat tua nanti dan mengatakan kepadaku bahwa cintanya tidak berubah. Aku ingin seseorang dengan siapa diriku, dirinya dan anak2 kami dapat tumbuh bersama...sampai tiba waktunya dimana akhirnya aku dan dia menjadi tua bersama, mengantarkan anak2 ke dalam fase kedewasaan yang mandiri dan bertanggung jawab, hingga Insya Allah dapat menimang cucu2 kami, Amin:)

100% Bebas Euyyyy


Buat teman-temanku yang berstatus sama dengan diriku alias single mom, mau tau ga tanda-tandanya kalo kita sepenuhnya 100% telah bebas dari 'jeratan perasaan dan pikiran' terhadap pasangan?? Pasti mau tau dunk...well, oke lah kalau begitu...oh iya, buat para single dad, tulisan-nya boleh dicontek juga kok:)

1. Kita tidak pernah lagi memikirkan mantan pasangan dengan sengaja.
Tanda yang pertama ini adalah tanda yang paling mudah terdeteksi dan paling mudah kita kontrol. Diri kita sendirilah yang 100% berkuasa penuh atas pikiran kita ini. Jika kita benar-benar ingin menjalankan keputusan perceraian yang telah diambil, maka kita harus benar-benar berhenti untuk memikirkan mantan pasangan dengan sengaja. Misal dengan berpikir 'ngapain juga gw masih mikirin dia...wuih bisa ke-geer-an nanti doski kalau bisa tau...memangnya dia juga mikirin gw'. Intinya adalah jangan pernah membuang lagi waktu kita yang singkat dan sangat berharga ini dengan memikirkan, apalagi sampai melamunkan orang yang ingin bercerai dengan kita.

2. Kita tidak pernah lagi ber-akting jadi detektif 'spying' mantan pasangan.
Waduh jangan malu-maluin gitu ah...hebat sih tiba-tiba punya bakat terpendam jadi detektif tapi jangan dipake untuk mengawasi atawa mengintai mantan pasangan kita dunk. Kalau sampe ketauan...alamak....mau ditaruh kemana muka kita ini?? Ya, tetep di depan sih..tapi maluuuu-nya itu loh...kalo kata pepatah sih, udah jatuh ketimpa tangga pula....
Pokoknya jangan sampe kita terus bermain detektif-detektif-an untuk alasan apapun...entah itu karena cemburu-kah atau hati yang masih panas terbakar dendam. Revenge isn't worth it most of the time. Jealousy is only a waste of time and brings out negative energy.

3. Kita sadar realita alias tidak mimpi ataupun berangan-angan bahwa mantan pasangan akan menyesali keputusannya dan kemudian akan balik mengejar dan mengharapkan cinta kita.
Kita akan susah untuk melanjutkan hidup jika kita masih bermimpi ataupun mengangankan mantan pasangan akan menyesali keputusannya dan akan mengemis meminta diri kita untuk kembali pada dirinya. Well....dalam hal ini, gw juga tidak berani untuk berkata sama sekali tidak mungkin, karena apa sih yang tidak mungkin terjadi di jaman yang sudah semakin tua ini?? Tapi, untuk mempermudah langkah kita melanjutkan hidup, sebaiknya teguhkan hati dan pikiran bahwa keputusan bercerai ini adalah untuk sesuatu yang diyakini lebih baik bagi hidup kita daripada melanjutkan pernikahan dengan mantan pasangan.

4. Kita tidak lagi berusaha mencari tau kabar pasangan dari orang-orang yang mengenalnya.
Camkan di pikiran bahwa semenjak palu hakim diketukkan sebagai pertanda telah disahkan-nya perceraian maka segala sesuatu yang menyangkut pribadi mantan pasangan bukanlah urusan kita lagi, dan begitupun diri kita terhadap dirinya. It will only make us more sad or miss him more when we ask questions about our ex spouse.

5. Kita bisa bertemu lagi dengan dirinya seperti layaknya bertemu teman lama, tanpa dibebani perasaan campur-aduk yang tak menentu.
Jika kita telah bisa melakukan hal ini, maka bisa dibilang bahwa 100% we already kick him out of our lives he..he..

Always remember gals that 'Tomorrow Is Always Fresh, With No Mistakes In It':)

Di-panggil Dengan Sebutan JANDA....Sapa Takut?:)


Ada banyak komentar, pandangan, pendapat, pikiran, dan alasan yang berbeda-berbeda mengenai predikat orang tua tunggal, entah itu seorang ibu tunggal maupun ayah tunggal. Omong-omong mengenai kalimat 'ibu tunggal' maupun 'ayah tunggal', aku mendapatkan protes dari seorang teman dekat yang setia mengikuti setiap catatan yang aku buat. Temanku ini berpendapat bahwa sebaiknya aku menggunakan kalimat orang tua tunggal di setiap catatanku, karena toh bukannya dalam kehidupan normal setiap manusia masing-masing mempunyai satu orang ibu dan satu orang ayah yang dengan kata lain dapat disebut juga sebagai ibu tunggal dan ayah tunggal. Bila begitu adanya, sebutan ibu tunggal maupun ayah tunggal untuk seseorang janda atau duda adalah tidak tepat, demikianlah komentar temanku itu.

Bagiku, sesuatu sebutan tidak pernah menjadi masalah. Bahkan apabila ada yang memanggil diriku dengan sebutan janda. Banyak orang berpendapat, sebutan 'janda' terdengar kasar dan rendah. Namun, seperti kata seorang shakespeare yang berpendapat "Apalah arti nama bagi seseorang", diriku pun tidak berkeberatan apabila dipanggil Janda. Lalu, apabila ada yang memanggil diriku dengan sebutan Janda, apakah lalu aku akan merasa mendapat pelecehan atau penghinaan atau malah memposisikan diriku menjadi 'rendahan'?? Jawabannya sudah jelas, TENTU TIDAK!!!

Coba kita lihat pengertian kata Janda di wikipedia. Disini tertulis, Duda atau Janda adalah istilah untuk pria dan wanita yang ditinggal cerai atau mati oleh pasangan pernikahannya. Kalau kita baca dan berusaha memahami makna arti kata duda atau janda di wikipedia ini, tidak terkesan adanya unsur negatif juga kesialan. Coba aku baca sekali lagi. Disini tidak tertulis kan kalau duda atau janda adalah pria dan wanita yang ditinggal cerai karena berselingkuh atau ditinggal mati karena menyebabkan kematian pasangannya kan?? he..he..
Lalu, darimana masyarakat umum meng-artikan kata duda atau janda, khususnya janda, ke dalam sesuatu arti yang negatif??

Pengertian Janda yang beredar di masyarakat itu memang telah lama dicitrakan oleh masyarakat sekaligus ’disetujui’ pula oleh masyarakat pada umumnya. Berapa banyak cerita bertemakan janda yang diangkat ke dalam cerpen, cerbung, novel hingga film. Mulai dari jenis horor sampai dengan pepesan kosong yang dikemas dalam anekdot sarkastik. Yang lebih lucu lagi, ada sebuah opini mengkonotasikan warna ungu adalah warna yang ’mewakili’ komunitas janda. Dan terakhir, label Janda Kembang yang kerap menghadirkan debar di dada baik perempuan maupun laki-laki. Tapi tentu saja irama degubnya berbeda. Debaran yang terdengar oleh telinga wanita adalah debar menahan cemas takut kalau-kalau si Janda merebut ’hati’ suaminya. Sedangkan di kebanyakan lelaki, janda kembang adalah seorang perempuan yang menarik hati untuk di-dekati atau bahkan (kalo bisa) disentuh ..widih seram...Padahal menurut wikipedia, istilah janda kembang ditujukan bagi seorang janda yang masih muda dan belum memiliki anak dari hasil pernikahannya. Hm...berlainan sekali kan pengertiannya???

Well, apapun pengertian yang beredar, khususnya tentang janda, gw tidak pernah mempunyai keberatan untuk dijuluki ataupun disebut Vie Seorang Janda, karena memang diriku ini adalah seorang wanita yang ditinggal cerai oleh mantan suamiku, sesuai kan dengan pengertian wikipedia? So thats it. Yup, Alvi adalah seorang janda...so what??

Oh iya...mengutip kata Zahra dari suatu catatan yang pernah aku posting per Maret 2009 dengan judul "Mami, janda itu adalah seorang perempuan sexy yang memakai baju 'you can see' he..he..."

Mencari Calon Ayah Bagi Anak2 ATAU Calon Suami???



Jatuh cinta kepada seorang single parent, bagi seseorang 'never married before single men/women'tentunya bukan hal yang mudah. Mungkin malah itu merupakan hal terakhir yang terpikir dalam benaknya. Atau ketika tidak ada lagi persediaan 'never married before single ladies/men' di dunia ini, barulah mau tak mau sang un-married single men/women pun melirik kami, para single parent he..he...Kelihatannya sarkastik dan pesimis sekali ya gw?:)

Itu semua karena I’ve heard everything from “I don’t date women with kids” to “I’m not trying to be nobody’s mama”. Well, wajar sih perasaan seperti itu. But, my initial inquiry when I hear statements like these is, who said that all single people who have children are automatically looking for someone to step in and take the absent parent’s place? Ge-Er aja deh mereka he..he..

Mungkin bagi sebagian single mom ataupun single dad ketika menjalin suatu hubungan lagi dengan seseorang memang bertujuan untuk mencari ayah atau ibu baru bagi anak-anak mereka. Untuk itu, tentunya sangat penting kesesuaian sang calon ayah atau ibu baru dengan anak-anak. Sehingga, seringkali para single parent berkomentar seperti yang umum terdengar,"Yah gw mah terserah anak-anak deh...kalo anak-anak cocok dengan pacar gw, baru deh gw mau serius ..tapi kalo enggak, ya terpaksa deh gw say good bye aja walopun gw cinta...gimana ya, kebahagiaan anak-anak diatas segala-galanya sih bagi gw".

Kebahagiaan anak-anak memang di atas segala-galanya, tidak hanya bagi para single parent, tentunya juga bagi semua orang tua di muka bumi ini. Siapa sih yang tidak mau anak-anaknya bahagia. This may be hard to believe, but there are actual single parents who are more interested in finding true companionship for themselves and a true “friend”, or male/female role model for their child(ren). Dating for the single is not always about re-making “the family”. Dan gw termasuk salah satunya he..he..

Ada teman yang bilang bahwa gw egois sekali dan gw tidak mempermasalahkan pendapat temen gw itu apalagi sampe menilai,"sok tau banget sih lo...emangnya apa yang lo tau tentang hidup gw dan anak-anak sampe ngerasa berhak bilang gw egois.."

Juga bukan bermaksud untuk mencari pembenaran diri, tapi gw sangat menyadari kalo taking on responsibility for a child is a lifetime commitment, so I can understand the fear that some men and women might have of being thrust into that role before they are ready. So I think some people shouldn’t be in “that role”, in a single parent’s life, period.

Lagipula masa berpacaran adalah juga masa-masa perkenalan dan penyesuaian antara dua individu yang tentunya sangat berlainan karakter, sikap dan banyak hal lainnya yang berbeda satu sama lain. Mencocokkan dua individu saja udah sangat rumit dan tidak mudah, apalagi kalau belum apa-apa sudah harus memasukkan unsur anak-anak dalam proses penyesuaian ini. Wah...ga kebayang gimana bertambah rumit berkali-kali lipat dan bukan tak mungkin kalo akhirnya di tengah jalan kita dan juga si calon pasangan udah kelelahan menanggapi kerumitan ini.

Finding my children a new father was the last thing on my mind. They already had one! My primary interest in having relationship is getting to know my couple as a person, rather than him stepping into the role of father or a caregiver to my kids. If we make the decision to advance to a more permanent stage then that will be the time to talk more about co-parenting possibilities. Until then, he will continue to build a friendship with my kids,no other responsibilities required:)

Emohnya Duda Menikah Lagi



One of my previous notes yang menuliskan tentang ketidakberhasilan gw dalam menjalin hubungan dengan seorang duda yang berusia 14 tahun lebih tua, mendapat tanggapan pendek dari seorang teman baru yang mengaku juga berstatus duda berusia pertengahan 30-an dengan 2 anak.
Sang teman baru menuliskan dalam emailnya,"ketidakberhasilan hubungan antara gw dan mantan pacar karena ada kemungkinan seorang duda dengan usia kepala 4 tidak tertarik untuk membuat suatu komitmen baru apapun bentuknya itu, termasuk menikah."

Email yang singkat (tapi padat makna loh) mau tak mau membuat otak gw berputar lagi, mencoba untuk menyamakan persepsi gw dan sang teman itu, dan mengikuti alur pikirannya. Pria, termasuk yang berstatus duda, di usia 40-an pada umumnya telah mapan sehingga membuat kaum pria dengan kisaran usia ini makin terlihat menarik di mata kaum wanita. Makanya timbul pepatah yang mengatakan,"A Man Life Begins at Forty". Dan umumnya pula kaum pria di usia 40-an ini telah berkeluarga dan untuk sang duda malah telah mengalami satu pengalaman hidup lain yang tidak menyenangkan, yaitu perceraian. Pria berstatus duda tentunya sudah pernah merasakan kebahagiaan dan juga keruwetan dalam pernikahan dan berkeluarga, dimana ada beberapa pernikahan yang berakhir ditandai dengan perceraian.

Seorang pria yang mengalami perceraian menjelang atau telah memasuki usia kepala 4 ini lebih takut untuk mencoba menjalin suatu komitmen baru, apalagi dengan seseorang yang baru, karena (mungkin) secara sadar tak sadar telah terbentuk suatu pola pikir dalam benaknya,"komitmen hanya akan menambah kerumitan dalam hidup" atau "mengapa harus menikah lagi hanya untuk mendapatkan seorang wanita teman hidup, banyak kok yang rela mendampingi saya tanpa ikatan dan tidak menuntut status istri."

Pola pikir seperti ini tentunya tidak timbul begitu saja. Pasti ada sebab atau latar belakang yang melandasinya, mungkin seperti hal-hal berikut ini:

1. Mudahnya untuk berhubungan intim tanpa ikatan. Itu sebabnya pria lebih memilih berpacaran terus dibandingkan bila harus cepat-cepat naik pelaminan.

2. Mereka dapat menikmati keuntungan memiliki "seorang istri" lewat cara berpacaran daripada sebuah pernikahan resmi.

3. Mereka ingin menghindari (lagi) perceraian serta risiko finansialnya, seperti harus tetap membiayai mantan istri dan anak-anak dari hasil perkawinan, juga membagi harta.

4. Mereka takut untuk melukai hati anak2 dengan kehadiran seseorang yang baru dalam hidup mereka yang belum tentu bisa diterima oleh anak2.

6. Mereka membatasi diri untuk benar2 jatuh cinta karena merasa tidak sanggup untuk menanggung suatu kemungkinan kehilangan lagi. Hubungan tanpa komitmen tidak memerlukan perasaan terlalu mendalam.

7. Mereka tidak merasa perlu untuk menikah karena tidak melihat manfaat dan kegunaan pernikahan.

8. Mereka enggan mengurus dan bertanggung jawab atas anak orang lain (point ini khusus untuk hubungan antara seorang duda dan janda yang mempunyai anak).

9. Mereka ingin lebih fokus ke karir. Setidaknya kegagalan dalam pernikahan harus diimbangi dengan kesuksesan dalam karir, sehingga mereka akan merasa tidak kehilangan muka di dalam masyarakat.

10. Mereka ingin menikmati masa lajangnya selama mungkin, sampe merasa bosan? (egoisme yang tinggi).

Curhatan Seorang Ayah Tunggal



Hampir enam tahun belakangan ini, aku telah menjadi seorang single dad untuk seorang anak perempuan cantik berumur 5 tahun yang kebetulan hak asuh anak jatuh padaku. Menjadi seorang ayah tunggal, tentunya bukanlah hal yang mudah. Apalagi untuk seorang ayah tunggal dengan anak perempuan seperti diriku ini. Aku yakin sekali bahwa diriku ini bukanlah seorang ayah yang sempurna.

Sekarang, aku yakin aku bukan ayah yang sempurna untuk anak perempuanku. Tapi aku akan melakukan yang terbaik yang aku bisa lakukan untuk anak perempuan yang sangat aku sayangi. I mean, I don't play Barbies as often as she'd like and sometimes after I've been working all day it's hard for her to understand that Daddy just wants to sit down and rest. But we do like to play sands under the sun during the weekend. Not all too sure if I'm doing okay with what it's like to be a girl with her not getting much input from her mother. But we try and if it's sporadic, well, I just hope it's not completely skewed when she gets older.
She's much more outgoing than I have ever been so I'm pretty sure her friends and other acquaintances will help fill in the gaps when it comes to the make-up and hair things.



Selama hampir enam tahun ini, diriku dan anak perempuanku itu telah menjalani hidup dalam kesendirian. Hanya kami berdua. Terus terang, selama hampir enam tahun ini, bisa dibilang hampir tidak pernah ada figur seorang perempuan dewasa hadir dalam kehidupan kami. Mungkin, diriku tidak membuka peluang untuk hal itu terjadi. Aku menemukan diriku tidak cukup yakin untuk sepenuhnya percaya membiarkan seseorang perempuan masuk ke dalam kehidupan kami. Entah mengapa. Mungkin juga keadaan diriku yang mempunyai seorang anak perempuan membuat para perempuan itu berpikir dua kali untuk masuk ke dalam kehidupanku, ke dalam kehidupan kami.

Anyway, there are times I actually seriously sit and think about what it is that's missing for her. Dance class, fingernail polish, watching mommy put make-up on in the mirror, and maybe even a less critical mommy shoulder to lean on once in a while. I'm not overly strict, but whenever it came to minor wounds I usually tried to tell her to be tough, rub some dirt on it and walk it out. Not particularly a womanly reaction, but she's a lot tougher for it.

Pertanyaan selanjutnya, apakah aku akan selamanya menjadi seorang ayah tunggal? I dont know for sure. I might or I might not. Bukannya aku merasa bangga atau nyaman menjalani hidup sebagai seorang ayah tunggal. Percayalah, ada saat-saat dimana aku merasa begitu sendiri. Tapi, ada pula saat dimana aku tidak bisa membayangkan untuk membagi kehidupan ini dengan orang lain setelah hampir enam tahun ini aku hidup sendiri. Tapi itu hanyalah beberapa bentuk permainan pikiran. Yang penting, seberapa baik diriku menjalani kehidupan ini bersama anak perempuan yang sangat aku sayangi dan dengan ikhlas menghadapi serta menerima segala kemungkinan hidup yang mungkin akan menerpa.



Terakhir, aku ingin menyumbangkan beberapa saran pribadi dalam menjadi hidup sebagai seorang ayah tunggal:

1. Bersikaplah terbuka dan jujur kepada anak-anak, keluarga dan teman tentang perasaanmu, pikiranmu, dan bahkan ketika kamu membutuhkan pertolongan dari mereka. Lupakanlah ego seorang pria yang bersikap tertutup dan pantang menerima bantuan.

2. Yakinkan anak-anak bahwa perceraian yang terjadi sama sekali bukanlah kesalahan mereka dan mereka tidak bertanggung jawab atas perpisahan yang terjadi. Sama halnya, tidak ada yang bisa mereka lakukan untuk memperbaiki perpisahan yang terjadi.

3. Lanjutkan hidup ini dengan perasaan optimis dan bahagia, jangan lagi terbelenggu pada masa lampau.

4. Jika dirimu merasa sudah siap untuk membuka pintu bagi seseorang baru, try to spend some time thinking about what attracted you to someone with personality defects similar to what your wife has, so that you don't make the same mistake again.

Nyaman banget seh jadi single parent? Emangnya enak ya?


Kalo bisa, saya jg tidak ingin bercerai dan saya jg tidak mau anak2 mempunyai orangtua yg berpisah, seperti kebanyakan yang diinginkan oleh setiap manusia di bumi ini. Seperti itulah juga yg saya katakan kpd teman saya yg pernah bertanya, "ih klo gw inget gimananya lo jaman kuliah dulu, ga ngebayang kok lo bs cerai dan ngalamin kyk gini". Jawaban sy waktu itu simple sekali, sy cuman bilang, "Jangankan lo, gw aja yg ngalaminnya suka ga percaya".

Nah, tentu teman2 bingung. Pertama sy memutuskan (dengan yakin) untuk menjadi seorang single mom. Tapi kenapa kok sekarang bilang "ga percaya" yg jg berkesan spt "wish it is only a nightmare" atau "wish it did not a reality" atau malah berkesan sy tidak menerima takdir jalan hidup ataupun malah spt (agak) menyesali keputusan itu..

Tetapi, bukan itu maksudnya...sy ga percaya bahwa akhirnya sy hrs menerima kenyataan bahwa "sesuatu yg dimulai dengan niat baik, tidak selalu akan berakhir dengan baik"...hm...ironis sekali kan, krn selama ini yg sering didengar adalah quote "segala sesuatu yg didasari niat baik, akan berakhir jg dgn baik". Well, mungkin pepatah tadi berlaku untuk kebanyakan orang yg beruntung dan saya termasuk orang yg kurang beruntung he...he....

Sejak awal pernikahan, sy selalu berniat untuk menjaga perkawinan dan menjadi seorang istri dan ibu yg baik dan disayangi keluarga, dan niat saya itu utamanya bukan didasari oleh rasa cinta atau tanggung jawab kpd suami, orang tua dan keluarga, tetapi lebih karena didasari oleh perasaan telah berjanji/berkomitmen di hadapan Allah yg tentunya apabila komitmen tsb dipermainkan, dampaknya adalah suatu beban moral yg sgt besar, di hadapan Allah dan jg sesama manusia.

Sebab itulah, saya saat itu optimis sekali kalo segala sesuatunya akan berjalan lancar dan berakhir indah, apalagi saya lahir dan dibesarkan dlm keluarga yg harmonis, berkecukupan dan sepasang orang tua yg saling mencintai sampai Allah memanggil pulang (alm) Papa. Demikian kuatnya niat tersebut, sy pun menuruti kehendak suami untuk tidak bekerja dan menjadi 100% ibu rumah tangga, walaupun saat itu saya baru saja menyandang gelar pasca sarjana dari Universitas Indonesia dan mendapatkan tawaran bekerja di suatu perusahaan multinasional.

Akan tetapi, diluar rasa optimis mungkin saya agak melupakan, bahwa segala hal yg kita kerjakan termasuk dalam suatu hubungan, pasti akan berhubungan dengan orang lain. Yang tentunya pihak2 terkait ini juga hrs mempunyai niat dan passion atau keinginan yg sama untuk dapat sampai ke suatu tujuan yg (sama) diinginkan. Dan inilah "missing link factor" dalam hidup sy, yang tidak saya sadari sebelumnya.

Saya pribadi berpendapat bahwa benar atau tidaknya perceraian itu tergantung persepsi dan kondisi masing2 individu tersebut..maksudnya mungkin seseorang yang hamil di luar nikah, (oh ya saya sengaja ga mengambil contoh perceraian karena KDRT ataupun selingkuh, karena biasanya persepsi/pendapat individu maupun publik cenderung sama), memutuskan untuk menjadi single parent dan merasa pilihannya itu benar karena dia merasa hidupnya akan lebih baik daripada menikah dengan pacar, setelah melalui pemikiran berulang kali, yang berkemungkinan besar tidak dapat diandalkan untuk menjadi suami atau seorang ayah, misal karena dia pengangguran/terlibat narkoba/penjudi/anak kaya yang manja/etc, sedangkan orang2 disekelilingnya atau keluarga menganggap itu pilihan yang salah.

Keluarga maupun publik malah berpendapat sebaliknya yaitu sebaiknya menikah dengan dasar alasan 'kalian harus mempertanggungjawabkan perbuatan kalian' atau 'jangan sampe anak itu lahir tanpa bapak' atau kalimat kasarnya 'jangan sampai anak itu terlahir menjadi anak haram'.

Nah, tentunya masing2 pihak akan bertahan dengan pendapatnya sendiri dengan argumen mereka masing2. Dalam hal ini kita tidak dapat menilai mana yang benar dan mana yang salah. Jadi dikatakan benar atau tidaknya menjadi single parent, menurut saya, adalah berdasarkan masing2 pendapat pribadi, tidak bisa kita generalisasikan bahwa menjadi single parent itu adalah keputusan yang benar atau keputusan yang salah.

Akan tetapi, dalam hal ini saya juga tidak bermaksud untuk menganjurkan bahwa being a single parent is the right way atau malah membentuk ajang feminisme. Karena, balik lagi ke tulisan saya sebelumnya, bahwa pada dasarnya baik itu laki2 maupun wanita, siapa seh yang pengen bercerai ? Siapa seh yang pengen anak2nya mengalami perpisahan orangtuanya ? Siapa seh yang ga pengen punya pasangan ?... suatu keputusan berani untuk menjadi single parent mungkin lebih tepat dibilang begitu. Mengapa ? Karena saya kembalikan lagi, bahwa pada dasarnya tidak ada satu orangpun di dunia ini yang menginginkan menjadi single parent. Seseorang, termasuk kita2, memutuskan untuk menjadi single parent, tentunya setelah melaui pemikiran dan pertimbangan yang matang, dan tentunya setelah menyadari bahwa kehidupan setelah menjadi seorang single parent tidaklah mudah, malah bisa dibilang teramat berat, apalagi bila tidak ada dukungan dari orang2 terdekat.

Oh ya, saya juga ingin sedikit enambahkan kata2 berikut "being a singleparent does not mean that our children could only live with one of their parents". Secara fisik, saya setuju dengan kalimat diatas. Karena ketika perceraian terjadi, anak2 akan ikut/tinggal bersama ayah atau ibunya saja. Tetapi secara emotionally, spirit ataupun batiniah saya kurang setuju karena walopun secara fisik, anak2 tinggal dengan ayah atau ibunya saja, diharapkan anak2 tersebut tidak akan kekurangan perhatian/kasih sayang/dukungan dari kedua orang tuanya.

Walopun tidak lagi tinggal serumah dengan salah satu orang tua lantas tidak berarti juga berkurangnya kuantitas interaksi antara orang tua yang tidak tinggal serumah dengan anak2nya. Melainkan harus dan lebih dapat meningkatkan kualitas interaksinya. Karena sebenarnya yang lebih dibutuhkan oleh anak2 adalah kualitas kasih sayang dan perhatian, bukan kuantitas. Banyak kita lihat pada keluarga yang utuh tetapi kedua orang tua sibuk, mungkin dapat bertemu setiap hari tetapi kualitas kasih sayang/perhatian ke anak2 sangatlah minimal.

Ada juga pasangan yang tidak memutuskan untuk jadi bercerai karena alasan anak2. Tetapi keputusan tersebut tidak diikuti oleh tindakan-tindakan selanjutnya yang menuju ke arah perbaikan. Mereka malah saling cuek, saling tidak bertegur sapa ataupun malah kadang bertengkar di depan anak2. Mereka tidak jadi bercerai dengan alasan memperhatikan kebutuhan anak2 dimana anak2 membutuhkan orang tua yang komplit, tetapi mereka hanya mengerti itu saja. Mereka tidak mengerti bahwa tidak ada gunanya, malah mungkin semakin menyakitkan bagi anak2 melihat ke dua orang tua yang walopun hidup dalam satu atap tetapi saling cuek. Itu sama saja tidak ada kehangatan ataupun kasih sayang di dalam keluarga tersebut. Jadi, apabila kita memutuskan untuk tidak bercerai dengan alasan memperhatikan kebutuhan anak2 akan orang tua yang komplit. Tanggung jawabkanlah keputusan tersebut dengan benar2 melupakan kesalahan dari pasangan yang mungkin menjadi penyebab hampir terjadinya perceraian, rekonsiliasilah, saling memaafkan dan coba saling tumbuhkanlah rasa saling menghargai dengan dasar cinta dan tanggung jawab kepada pasangan, kepada keluarga, kepada masyrakat dan Tuhan, tentunya.

So, kesimpulannya..tidak bisa dibilang apakah menjadi single parent benar atau tidak, nyaman atau tidak karena alasan,latar belakang dan tujuan antar individu mengenai keputusannya untuk menjadi single parent adalah berbeda..Lagian ngapain seh mempermasalahkan hal-hal seperti ini...lebih baik memikirkan bagaimana single parent tersebut dapat menata dan menjalani masa kini dan masa depannya dengan lebih baik dari masa2 sebelumnya. Bener ga ?:)

Re-Marry????....The Problem Is ME...


Salah satu keputusan yang paling sulit untuk seorang ibu tunggal adalah akan atau tidaknya menikah kembali. Bagi sebagian orang, termasuk diriku, berpikir adanya kemungkinan untuk menikah kembali masih berada dalam angan-angan yang setidaknya sampai saat ini aku belum ada keberanian untuk membuatnya jadi nyata. Jangankan untuk menikah kembali, memutuskan untuk mulai berpacaran lagi saja ...pergulatan hati dan pikiranku ini masih terus berlangsung ...singkatnya, masih belum sinkron . Perdebatan ini tak terasa telah berlangsung hampir 6 tahun lamanya semenjak diriku berpisah dengan papa-nya anak-anak.

Aku punya beberapa teman ibu tunggal yang tidak terlalu memikirkan tentang hal ini. Just face it, do it and have some fun, begitu kata mereka. Tetapi untuk beberapa ibu tunggal yang lain, seperti aku misalnya, mengapa hal ini begitu sulit untuk dilakukan?

Selama tiga tahun pertama menjadi ibu tunggal, gagasan untuk kembali berpacaran bahkan tidak pernah terlintas dalam pikiranku. Aku begitu sibuk mencoba bertahan dan berusaha untuk maju dalam hidup dengan segala kemampuan yang ada pada diriku. Kesibukan ini membuat pikiran tentang kebutuhan akan kehadiran seorang pria berada semakin jauh dalam pandangan dan pikiranku. Atau mungkin dengan sengaja, aku malah membuat diriku tak terlihat....menghindar dari pandangan kaum pria.

Up to recent moments, I started feeling lonely. I started to wonder if I'd be better look for a partner who is willing to share our days. So I decided to open myself up to the world.

Dan sejak aku memutuskan tidak lagi ingin menyendiri, beberapa orang pria dengan berbagai macam tipe kepribadian telah mencoba untuk mendekati diriku:). Ada tipe pria yang berpacaran dengan ibu tunggal tujuannya hanya untuk mendapatkan seks. Tipe pria ini beranggapan bahwa ibu tunggal mempunyai suatu 'kebutuhan biologis' yang butuh segera untuk disalurkan, dan khusus untuk diriku ini, hanya satu kata yang pantas untuk diucapkan bagi pria jenis ini yaitu KELAUT AJA DEH LOOO!!!..
Selain jenis pria penggila sex, ada juga jenis pria yang langsung mundur dengan kecepatan seribu langkah ataupun menghilang secara perlahan-lahan begitu mengetahui diriku ini mempunyai 'ekor' alias ada dua anak dalam hidupku. Penjelasan yang aku dapat adalah langsung terbayangnya di benak mereka seberapa berat akan beban biaya untuk anak-anak ibu tunggal yang mereka harus mereka tanggung nanti. Hm...bagi diriku, jenis pria ini sudah 'kalah sebelum berperang':).

Belum lagi jenis pria yang terlihat "Kau Begitu Sempurna".....kalau saja...dia bukan suami orang, bukan pacar orang, bukan 'apa-apanya' sesuatu, dsb. Ada juga jenis pria yang penampilannya 'diluar selera' diriku ini.....bukannya aku mementingkan penampilan...akan tetapi ada sesuatu dari penampilan jenis pria ini yang membuat diriku tidak nyaman untuk membiarkan jenis pria ini masuk ke dalam kehidupanku dan bergaul dengan anak-anakku.

Well...mungkin bisa dibilang aku terlalu berlebihan dan terlalu cepat dalam menilai dan menganalisa seseorang. Aku memang tipe orang yang langsung menganalisa sesuatu, terutama kerjaan. Tapi menganalisa seseorang, aku tidak terlalu yakin. Karena bisa dibilang aku termasuk cuek dan tidak ingin membuang waktu untuk sekedar menilai seseorang. Namun sebagai seorang ibu, dalam hati ini ada semacam 'bel/alarm' yang otomatis berbunyi seperti memperingatkan diriku untuk berhati-hati.

Ingin sekali rasanya, aku seperti sebagian dari single mom yang berani menjalin suatu hubungan baru tak lama setelah bercerai. Aku sadar sekali tentunya ini tak mudah. Perlu banyak keberanian, kejujuran, keyakinan juga kepercayaan dalam memutuskan untuk membuka pintu hati dan kehidupan kita bagi seseorang.

Or should I let go this chance?

I don't think so. All I need to do is just to make sure myself ready for it, thats all!

Jawaban Untuk Sahabatku


Sahabatku sayang,

Alhamdulillah doa kamu maseh, malah langsung dan cepat pula dijabah oleh Allah.
Ini merupakan syukur nikmat yang diberikan Allah kepada kamu, jg mungkin sekaligus ujian buat kamu. Ujian buat ketulusan doa kamu yang ingin spy papanya anak kamu inget ma anaknya.

Untuk itu sahabatku tersayang, tolong lepaskan pikiran kamu dari berpikir hal2 yg negatif yg jg belum tentu terjadi kan? Yang jangan2 hanya merupakan kekhawatiran diri sendiri saja.

Gw pernah berada seperti di kondisi kamu sekarang.. Gw jg pernah mengalami keraguan dan kekhawatiran serupa akan adanya kemungkinan papanya anak2 akan mengambil anak2 apabila mereka gw pertemukan.


Tapi kemudian gw berpikir, kalo emang papanya anak2 mau mengambil anak2, bs aja kan dia lakukan bukan hanya di saat ini saja ... Ataupun bisa melalui cara lain ... Ataupun melalui orang lain. Banyak sekali cara untuk melakukan hal itu. Dan ketimbang gw cape2 mikirin banyak dugaan kemungkinan yg memusingkan kepala dan meresahkan hati, kenapa gw ga memilih untuk mikirin satu hal yg pasti yang menyenangkan sesuai dengan apa yang diucapkan oleh papanya anak2. Apalagi hal itu adalah segala2nya yg gw inginkan untuk anak2. Sesuatu yg bs membuktikan bahwa ikatan darah tidak akan benar2 bisa terputuskan dan diputuskan, baik di dunia ini maupun di akhirat, sehingga muncul istilah yg kita kenal dengan "tidak ada yg namanya bekas orangtua maupun bekas anak".

Mungkin sounds cliche, tp itu benar adanya kalo pikiran negatif hanya akan merusak jiwa kita. Dan bukan hanya itu saja, dampaknya jg bs menular kepada orang2 di sekitar kamu terutama anak kamu. Tentunya kamu tidak ingin melihat buah hati kamu tumbuh menjadi anak yg berpikiran negatif kan?

Dan sebagai orangtua tunggal yg mempunyai anak, gw kok melihat bahwa sampai kapanpun gw tidak bs 100% lepas dari mantan suami. Jangankan itu, sebagai umat muslim yg beriman, kita yakin bahwa tidak boleh memutuskan tali silaturahmi dengan siapapun. Nah, apalagi ditambah dengan adanya anak diantara kita dan mantan, tentunya akan semakin memperjelas untuk tetap menjalin ikatan itu kan karena sapa tahu kelak kita membutuhkan mantan. Mungkin bukan materi, tapi dalam bentuk lain seperti kehadiran, figur ataupun darah.

Iya, gw mengerti kekhawatiran kamu sebagai seorang ibu yang telah mengasuh dan menjaganya dari kecil yang tentunya ingin selalu melindungi sang permata hati dari segala bentuk kemungkinan perbuatan dan kejadian yang tidak diharapkan dari dan oleh siapapun. Tapi, untuk dan khusus kasus papanya jagoan-mu itu...kamu benar2 yakin tidak bahwa segala bentuk pikiran khawatir dan semua bentuk protektif ini hanya karena anakmu semata? Tidakkah ada kemungkinan ini lebih dikarenakan untuk menjaga hati kamu dari rasa sakit lagi? Tidakkah ada kemungkinan ini jg dikarenakan karena kamu menjaga ego kamu untuk tidak "kalah dan terluka" lagi?

Gw tidak akan menjawab pertanyaan2 ini, ...karena gw bukan kamu ...dan jg karena hanya diri kamu sendiri, hati kecil kamu yang bs menjawab dengan jujur segala bentuk pertanyaan ini. Tapi, gw hanya ingin menyampaikan kalo kita benar2 ikhlas...berarti kita juga telah benar2 percaya bahwa segala sesuatunya telah ditentukan Allah untuk kita, sedangkan manusia hanya bisa berusaha dan berdoa.

Selama ini kamu telah berjuang dan berusaha untuk memberikan apapun yang terbaik untuk kepentingan anakmu. Tidak hanya dalam usaha, rasa sayang dan cinta kamu terhadapnya jg kamu lafadzkan dalam doa, termasuk doa agar anakmu bisa bertemu dengan papanya. Sekarang tawakal-lah...kembalikanlah kepada Allah. Percayalah bahwa Allah mengetahui dan merasakan cinta kasih sayang kamu untuk sang anak tercinta serta mendengar doa yg kamu panjatkan. Oleh karena itu, percayalah jg kalo Allah akan memberikan yang terbaik untuk buah hatimu itu, walopun kadang mungkin ketentuan-Nya akan menyakitkan kamu, misal kekhawatiran kamu selama ini benar2 terjadi yaitu papanya mengambil jagoanmu. Apabila ini terjadi, sahabatku sayang...tolong kembalikan lagi pikiran dan hati kamu ke dalam bentuk keikhlasan...ikhlas bahwa anak hanyalah satu bentuk titipan dari sekian banyaknya titipan Allah yang dipinjamkan kepada kita....ikhlas karena anak sesungguhnya bukan menjadi hak milik kita. Coba berpikirlah, bahwa Allah itu adil...setelah sekian lama Allah memberi anakmu waktu untuk mengenal kamu sebagai mamanya.... maka kali ini Allah memberikan anakmu giliran waktu untuk mengenal papanya. Itu semua karena Allah sayang anakmu selain Allah itu juga Maha Adil,
Bukankah itu suatu anugerah yg disyukuri?

Memang praktek kenyataannya tidak semudah teori tulisan gw disini. Tapi tidak ada yang tidak mungkin. Sekarang semuanya kembali kepada keputusan kamu. Mudah2an kamu bisa mengambil keputusan yg terbaik untuk anakmu dan gw yakin kamu pasti bisa:)

Salam sayang,

Vie

Kenapa Vie Memutuskan Menjadi Single Parent? Kenapa Yaa ???

Dear all,

Banyak banget yang nanya "Kenapa sih vie kok cerai?, apalagi udah punya 2 anak gini?"..Malah ada yang lebih "sadis" lagi pertanyaannya "Kok lo berani cerai sih vie, sapa lagi nanti yang mau ma lo dengan 2 anak spt ini?"

Dan yang lebih "sadis sadis sadis" lagi pertanyaannya "Lo sanggup vie ngebesarin 2 anak lo itu?"

Dan yang lebih "sadis sadis sadis sadis" lagi ada statement "mendingan lo kasih aja anak2 ma mantan suami lo dan istri barunya..suruh mereka yang urus tuh..enak2 aja mereka seneng2 sendiri.."

Sesungguhnya keputusan untuk menjadi seorang single parent sangatlah relatif untuk setiap orang dan untuk saya khususnya bukan merupakan keputusan yang mudah, walaopun memang itu merupakan salah satu dari banyak keterpaksaan yang harus saya pilih dalam menjalani hidup ini. Dan itu harus berdasarkan hasil olah2an campur2.. ya...ditimbang2 antara keadaan anak2 dan masa depan mereka, perasaan, logika yang rasional dan sehat alias tidak emosi-an (lebih baik hal ini yang dominan), financial, mungkin ditambah dengan hasil analisa kita atas kasus2 serupa, mungkin juga ditambah perkiraan2 dan bayangan2 gimana ya ke-depannya jika menjadi single parent ato jika tetap mempertahankan perkawinan, dan mungkin terakhir ditambah nasihat2 dari orang tua, saudara2, teman2 ataupun orang lain....

Jadi keputusan memilih untuk menjadi single parent bukanlah suatu pilihan keputusan yang mudah dan kelak harus bisa dipertanggungjawabkan, terutama kepada anak2 (apabila dikemudian hari mereka mulai menanyakan kenapa mama papanya berpisah) dan kepada keluarga juga masyarakat pada umumnya (walopun hal ini tidak lah mutlak, tetapi masalahnya kita maseh orang Indonesia yang notabene adalah masyrakat yang berbudaya timur, yang mungkin sebagian masyarakat maseh memandang citra seorang single parent secara negatif).

Tetapi to be frank, saya as single parent, tidak merasa khawatir dengan stigma negatif ttg "janda" yang udah terbentuk di masyarakat..as long as saya bisa membuktikan dan mempertanggungjawabkan bahwa saya adalah seorang single parent yang positif, bekerja dan mandiri, mampu membesarkan anak2 secara baik dan yang penting sayaharus bisa menunjukkan kalo saya bahagia dan tidak menyesali menjadi seorang single parent...

Dalam hal ini saya tidak bermaksud ataupun mencoba untuk memprogandakan atau mengajak menjadi single parent. Tentu saja tidak, karena secara logika dan perasaan, mana ada seh orang yang mau perkawinannya berantakan dan kemudian bercerai? dan kembali lagi ke teori awal tentang kodrat dasar manusia sebagai makhluk sosial dimana tentunya manusia lebih menyukai dan lebih baik hidup berpasangan. Maka dari itu, sebaliknya dalam hal ini saya menganjurkan untuk mengambil suatu
pilihan dan keputusan menjadi single parent harus dipikirkan masak2 dan dengan kesadaran penuh dari diri sendiri..sehingga tidak akan ada penyesalan di belakang hari.....

Pikirkanlah.....apakah kamu lebih bahagia dengan bertahan dalam perkawinan ataukah lebih baik berpisah....Kebutuhan anak2 akan kelengkapan orang tua emang penting, tapi tolong terutama pikirkanlah juga kebahagiaan kamu. Kamu berhak buat bahagia. Dan apabila kamu merasa tertekan dan tidak bahagia namun bertahan dalam perkawinan dengan alasan anak ataupun financial, pikirkan juga bahwa anak2 dapat merasakan ketidakbahagian yang kamu rasakan..dan apabila anak2 melihat ibunya atao orangtuanya tidak benar2 bahagia...mereka juga akan merasakan hal yang sama..dan kamu akan membuat mereka lebih tersiksa..kecuali kamu dan pasangan benar2 kembali dan sama2 berniat untuk memulihkan perkawinan, benar2 memaafkan satu sama lain, dan benar2 ingin meraih kebahagiaan bersama sehingga tidak akan ada salah satu pihak yang akan maseh merasa tertekan dan tidak bahagia...

Kalo secara financial.....percaya lah...rejeki ditentukan oleh Tuhan selagi kita maseh niat, ikhlas dan mampu untuk bekerja keras di jalan yang halal...dan jangan lupa dalam mengasuh anak, Tuhan juga akan memberikan extra rejeki karena tiap anak membawa rejekinya masing2...

Kalo karena kita ga rela pasangan diambil orang lain...hm...saya ga ada hak untuk berkomentar dalam hal ini karena sekali lagi hal ini berpulang dari perasaan dan pikiran tiap individu yang tentu berbeda satu sama lain..kalo saya pribadi, mengambil pengalaman terdahulu saya akan menanyakan ke pasangan saya apakah ingin saya selamatkan atau tidak...kalo dia memilih untuk tidak diselamatkan oleh saya...saya harus menghormati keputusannya itu ..karena saya tidak mau ada yang namanya keterpaksaan di dalam kehidupan saya maupun orang2 yang saya sayangi..

Terakhir saya sering kali mendapatkan komen dari teman2 yang menyatakan kesalutan dan kekagumannya terhadap saya yang sekarang ini lagi menjalankan Trifungsi sebagai seorang ibu, seorang ayah, dan seorang wanita bekerja hampir selama 5 tahun ini, akan tetapi terus terang secara pribadi saya sebagai salah satu dari banyak orang yang telah memutuskan untuk menjadi single parent...tidak pernah merasa hebat dan bangga dengan keputusan ataupun status saya menjadi single mom. Menjalankan trifungsi itu adalah resiko yang sudah saya perkirakan harus saya terima dan harus saya jalani dan ini lah yang saya lakukan...go flow with my life dan tetep berjuang demi kebahagiaan saya dan anak2 di masa kini dan masa2 mendatang.

keputusan menjadi orang tua tunggal adalah keputusan yang dirasakan perlu untuk dilakukan demi menyelamatkan pertumbuhan dan perkembangan anak2 secara lahir maupun mental/emosi untuk dapat tumbuh kembaang dengan baik dan normal, ketimbang tumbuh kembang di lingkungan keluarga utuh yang tidak sehat misalkan dengan seorang ayah/ibu yang pemarah/ main tangan/otoriter, atau dengan seorang ayah/ibu yang gemar selingkuh/poligami/poliandri.