Stigma Negatif Janda---->Sedih Banget :(

Kepribadian yang luwes merupakan salah satu dari sekian banyaknya berkah Tuhan yang aku terima.
Berkah Tuhan ini membuatku sangat nyaman dan mudah untuk berkenalan, berinteraksi dan tak sedikit yang akhirnya berakhir dalam bentuk hubungan pertemanan yang erat dengan berbagai macam manusia; ada yg sebaya dan ada juga yang lebih muda atau lebih tua; dari yang kaya sampai miskin papa; dari laki-laki, perempuan ataupun waria; dari sang mega sarjana sampai buta huruf; dan dari sang 'beauty' hingga ke si the 'beast' :)

Tapi ternyata suatu berkah pun berpotensi menimbulkan kecemburuan pihak lain. Seperti 'musibah' yang pernah menimpa diriku beberapa waktu yang lalu. Kejadiannya dimulai tanpa ada angin apalagi badai, datang dengan ke-emosian yang membuncah di dada seorang wanita yang mengaku sebagai istri dari satu konsultan professional yang sedang memberikan beberapa pelatihan di kantor kami. Sang istri tanpa tedeng aling berteriak-teriak marah dengan suara menggelegar membuncah bagaikan petir yang merobek kesunyian suasana kerja di siang hari itu, menuduh diriku menggoda dan mengajak suaminya untuk berselingkuh, yang lucunya sang istri tidak dapat menyodorkan bukti-bukti yang menjadi dasar dan alasan tuduhannya kepada diriku.

Hampir setengah jam lamanya sang istri berteriak marah penuh emosi seakan hendak melampiaskan kekesalan dan kecurigaan di hatinya .
Tanpa sang istri sadari, sebenarnya dia telah mempermalukan dirinya sendiri dan menurunkan harkat martabat kewibawaan sang suami yang berprofesi sebagai seorang konsultan terkenal. Terlebih ketika ditanya dan diminta (untuk kesekian kali) ada atau tidaknya bukti yang mendukung atau menjadi dasar tuduhannya terhadap diriku, maka (untuk kesekian kalinya pula) tetap tidak adanya satu bukti dasar pun yang disodorkan oleh sang istri yang hanya bisa berdalih dengan kata-kata,"Gak perlu bukti, sudah pasti perempuan (maksudnya Alvi-red) ini yang menggoda suami gw, dasar janda kegatelan!"

Hanya selang sedetik setelahnya, tanpa disangka dan diduga sang suami dengan refleks berteriak keras memperingatkan (sekaligus bermaksud untuk mencegah-red) istrinya untuk tidak lebih jauh lagi mempermalukan diri mereka sendiri. Namun sang istri yang tidak bisa membaca 'maksud tersirat' tersebut, malah menganggap sang suami membela diriku. Akhirnya otaknya yang tadi sudah agak waras menjadi lebih error dari sebelumnya karena bukan hanya aku lagi yang menjadi sasaran tunggal kemarahannya, sang suamipun mulai dicaci-maki. Sinetron ini berakhir ketika sang suami pergi meninggalkan istrinya yang terus asyik mencaci-maki dan dimana keesokan harinya pimpinan kantor mengeluarkan surat peringatan untuk sang suami dengan alasan membiarkan dan membawa urusan keluarga ke dalam lingkungan kantor yang menimbulkan keributan sehingga mengganggu kegiatan kantor.

Aku nggak pingin sebenernya mengingat ataupun membahas masalah ini lagi. Tapi setelah membaca keluhan seorang wanita yang berstatus sama denganku yang kebetulan juga mengalami nasib yang sama dilabrak dengan semena-mena membuktikan stigma negatif 'Janda' sebagai perusak rumah tangga masih belum hilang dari masyarakat. Terlebih terasa ironis sekali, stigma negatif itu lebih sering dilontarkan oleh kaumku sendiri, para perempuan.